Cerpen Karya :
Abdul Hamid
Foto Pesawat Air Asia |
(Cerpen ini dimuat di Harian Borneo Tribune). Sore itu aku duduk di ruang
tunggu Bandar Udara Supardio Kota Raya. Mataku menatap pesawat yang landing dan take off silih berganti di landasan pacu. Hatiku diliputi
rasa penasaran, karena pesawat yang akan aku tumpangi menuju Negara Kuala
Lumpur mengalami delay selama satu jam. Ini adalah pengalaman pertamaku
bisa terbang ke luar negeri. Dulu, aku hanya bisa bermimpi terbang mengelilingi
Pulau Borneo dengan pesawat yang sering melintas diatas kepalaku di penghujung
senja.
Ingatanku tiba-tiba melayang.
Berputar mundur kebelakang, berhenti pada sebuah peristiwa di ujung senja.
“Nak, percayalah. Bahwa suatu hari nanti kamu pasti bisa terbang bersama pesawat
yang sering melintas diatas kepalamu ini. Kamu tidak hanya terbang mengelilingi
Nusantaramu, tapi kamu juga akan terbang hingga keluar negeri sana.” Ucap nenekku
seraya menunjuk ke pesawat yang melintas diatas kepala kami.
Saat itu aku hanya mengangguk ketika nenek berkata seperti itu. Ucapan
nenek tidak hanya sekali tetapi berulang kali setiap melihat pesawat dengan
kalimat yang sama. Bahkan, aku melihat nenek berdoa penuh khusyu’. Lalu
membenamkan kedua telapak tangan
kewajahnya yang sudah keriput.
Saat pesawat melintas, saat itu pula menjadi penanda bahwa sekitar satu jam
lagi adzan magrib. Saat itu senja ingin
kembali keperaduannya. Gelap akan menyelimuti perkampungan Madani yang tak mendapat
aliran listrik. Aku dan nenek segera beranjak dari sawah yang baru kami tanami
padi.
***
Nenekku adalah sosok seorang perempuan yang tegar dan tak pernah mengeluh. Ketika
kami direlokasi dari Gedung Olahraga Kusuma ke perkampungan Madani akibat
musibah sosial yang melanda kampung kami pada tahun 1999, Nenek tidak mengeluh.
Tidak ada raut sedih di wajahnya. “Kita bisa hidup dimana saja. Meskipun
didalam hutan yang tak bertuan sekalipun.” Kata nenek kepada warga keturunan
Madusari yang masih belum bisa menerima
keputusan pemerintah yang merelokasi pengungsi ke dalam hutan.
Walau resah karena harus berebut tempat tinggal dengan kera, biawak, trenggiling, babi hutan, ular, dan makhluk hutan
lainnya, kami tidak punya pilihan
lain. Kami harus tetap bertahan melanjutkan roda kehidupan dan membangun kembali
impian kami yang porak-poranda.
“Nak, kita tidak boleh menyerah dan beputus asa dalam hidup ini, meskipun
kita berada di titik terendah.” Ucap nenek padaku. Saat itu kami sedang mengalami
himpitan ekonomi, aku patah arang karena setelah lulus dari Madrasah Aliyah,
keluarga kami tidak mampu membiayai aku untuk kuliah.
“Apalagi yang
bisa kita harapkan nek? Kita tidak punya apa-papa.” Sanggahku.
“Kita masih punya
Tuhan. Kita ubah situasi ini dengan doa. Karena itu satu-satunya yang kita
punya.” Balasnya dengan mantap.
Ingatanku tentang nenek tiba-tiba disela pengumuman pesawat Aer
Asia yang baru saja mendarat di Bandara Supardio. Aku beranjak dari tempat duduk, bergegas memasuki
pintu keberangkatan bersama ratusan penumpang pesawat Aer Asia.
Pesawat bergerak menuju landasan pacu. Pramugari mondar mandir memastikan para penumpang memasang sabuk pengaman. Aku membuka
jendela pesawat, menatap senja yang memerah di ufuk barat. “Ya Allah, terima
kasih Engkau kirimkan perempuan terbaik kedalam kehidupanku. Tempatkanlah dia di
surga Mu yang Abadi.”. Pintaku dalam doa di ujung senja sore itu. Aku benamkan kedua talapak tanganku ke wajahku. kemudian aku terbang melintasi awan yang terbentang laksana hamparan kapas putih yang menggantung di langit.
Pontianak, 1 Rajab 1434 H
Pontianak, 1 Rajab 1434 H
Selamat Pagi Admin.ketika semua terasa hampa DOA bisa mengubah segalanya.terimakasih
BalasHapus