Cerpen Karya : Abdul Hamid
Entah angin apa yang membawa aku ke sebuah mushola di
pinggiran jalan Dalam Bugis itu?
Tiba-tiba saja dalam perjalanan pulang, selepas mengantarkan pacarku pulang
kerumahnya. Terbesit didalam hatiku untuk solat magrib. Padahal sudah lama
rasanya kakiku ini tidak berpijak di lantai mushola. Apalagi bersujud di waktu
senja kembali keperaduan-Nya.
Hari-hari hanya aku penuhi dengan makian didalam hati
kepada kedua orang tua pacarku yang tak kunjung memberikan restu kepada kami
untuk menikah. Konon, ketidakmauan mereka memberikan restu karena aku berbeda
suku dan status sosial dengan mereka. Maka aku semakin kecewa dengan ‘takdir’
Tuhan yang melemparkan keluargaku kedalam lumpur kemiskinan. Apalagi, kehidupan
di perkotaan sering menempatkan orang miskin kedalam kelas sosial paling
bawah.
Dahulunya, keluargaku adalah orang-orang pendatang yang
hidup serba berkecukupan. Selama tinggal di Bumi Serambi Mekkah kami menguasai
sektor pertanian, perdagangan dan jasa. Sayang, pondasi ekonomi yang kami
bangun hancur oleh musibah sosial tahun 1999. Kamipun memulai sebuah kehidupan
baru di dekat tempat pembuangan sampah Kota Tugu.
Sore itu, aku berdiri
bersama beberapa orang berpakian baju ‘taqwa’ yang berkerumun di depan
sebuah kran di samping mushola. Kami mengantri untuk mengambil wudhu’.
“Abang ini ikhwan yang baru masuk tarikat ke?” Tanya salah seorang diantara mereka kepadaku.
“Bukan pak, saya kebetulan saja lewat disini untuk solat magrib. Memangnya
malam ini ada kegiatan dari tarekat ke pak? Kok banyak orang-orang disini
berpakaian serba putih? ”
“Ndak, malam ini cuma ngaji kitab Miftahus Shudur- Kunci Pembuka Dada.
Tawajjuhan nya nanti akhir bulan ini.”
Mendengar penjelasan nya aku hanya mengangguk-angguk seolah-olah
memahami perbincangan seputar tarekat. Padahal, aku tidak banyak tahu bagaimana
proses seseorang dalam memahami dan menjalankan amalan tarekat? Yang aku tahu,
tarekat digunakan dalam dunia tasawuf sebagai jalan yang harus ditempuh
seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata ibu, dahulu almarhum ayahku adalah
seorang pengikut tarekat aliran Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Sebuah tarekat
yang merupakan penggabungan dari Tarekat Qodiriyah dengan Tarekat
Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi.
Namun, aku sendiri tidak pernah bersentuhan dengan dunia
tarekat. Menurutku bertarekat itu nanti kalau sudah tua.
Kumandang iqomah dilantukan, para jamaah berdiri mengisi saf-saf yang
kosong. Aku berdiri dibagian saf paling belakang bersama mereka.
Selepas solat magrib dilanjutkan dengan wirid kalimat thayyibah.
Entah kenapa malam itu nuansa batinku terasa khusyuk dan tenang? Tidak seperti
biasanya selepas solat aku langsung pergi tanpa sempat membaca kalimat
thayyibah ataupun berdoa. Malam itu aku
ingin sekali berlama-lama didalam mushola bersama mereka.
“Sebelum kita ngaji, kita awali dulu dengan tawassul
kepada Nabi serta membaca puji-pujian.” Ucap Sang Imam sambil membetulkan kabel
microphone nya. Kemudian dia melantunkan puji-pujian. Kul ya adzim Antal Adzim # Qot Hammana
Hammun Adzim (Sebutlah dengan
asma
Allah: Ya ‘Azhim, # Sungguh kami mengalami kesedihan yang besar). Wa kullusaii Hammana # Ya Hunu Bismika Ya
Adzim (Segala hal yang membuat kami sedih # akan
menjadi ringan dengan menyebut nama-Mu wahai yang Maha Agung).
Para jamaah mengikuti lantunan puji-pujian sang imam.
Mushola bergemuruh syahdu dengan syair yang sering dilantukan oleh Al-Habib
Hasan Bin Ja’far itu. Tubuhku merinding, merasakan energi yang Maha Agung. Mataku
berkaca-kaca. Beban hidup aku terasa ringan dan lenyap. Aku memejamkan mata
meresapi tiap bait-bait syair. Sesuatu tiba-tiba berkelabat didepan mataku. Aku
merasa bertemu almarhum ayah berpakain putih berada di suatu lembah menghadap
ke sebuah bangunan berbentuk kubus berwarna hitam. Di sekeliling kami ada istana
dengan taman-taman nan indah. Taman surga.
Dalam sekejap, ayah dan taman surga itu hilang dari
pandanganku. Di depan aku hanya punggung orang-orang berbaju putih yang duduk
diam dengan tertunduk.
Aku teringat pada ucapan guru ngajiku, Kiai Mustofa. Yang
mengutip sebuah hadits. “Majelis dzikir itu adalah taman surga. kata Nabi Apabila kalian melalui taman-taman surga, maka nikmatilah
buah-buahannya.”
Putri Dara Hitam, 6 Sya’ban 1433 H