(Sebuah Catatan Perjalanan Hidup : From Emperen To Empire)
Hampir setiap pagi saya selalu menyempatkan diri untuk mencari kaleng-kaleng bekas dibelakang toko saya. Sampah berharga itu berasal dari warung kopi sebelah toko saya, bekas minuman pengunjung warung kopi. Awalnya saya tidak peduli dengan sampah aluminium ini. Tapi melihat jumlah nya yang semakin hari semakin banyak saya jadi tertarik untuk mengumpulkan lalu menjualnya ke pedagang besi bekas.
Saya membuang rasa malu saya
jauh-jauh demi sebuah perjuangan hidup dalam mencari nafkah. Apapun saya akan
lakukan demi memberi nafkah kepada pendamping hidup saya sepanjang itu halal. Tidak
boleh lagi ada rasa gengsi. Apalagi saat ini usaha yang saya rintis masih
membutuhkan modal yang banyak. setiap hari saya selalu dituntut untuk berpikir,
bagaimana bisa membayar angsuran pinjaman yang telah saya gunakan untuk membuka
usaha? Saya harus jeli memanfaatkan apa yang ada disekitar saya. meskipun itu hanya berupa sebuah kaleng bekas.
Kaleng-kaleng bekas yang saya
kumpulkan membuat saya teringat pada Tiga tahun yang lalu, saat saya masih
tinggal di sebuah rumah kost yang dekat dengan kampus STIE-Pontianak saya
sering menyimpan kaleng-kaleng bekas minuman teman-teman ataupun tamu kost yang bertamu ke tempat kost kami. Kebiasaan
ini muncul ketika suatu hari saya melihat anak seorang pemulung yang melintas di
tempat kost saya dengan membawa karung. Ia memunguti kaleng-kaleng bekas yang
dibuang oleh warga di pekarangan rumahnya.
Saat itu Timbul rasa empati dalam
hati untuk membantu anak pemulung tersebut. Saya menyimpan kaleng-kaleng bekas
minuman teman-teman di dapur lalu memberikan kepada anak pemulung itu kalau
sudah terkumpul satu plastik. Ia merasa sangat senang ketika saya memberikan
kaleng-kaleng bekas itu kepadanya. Bahkan suatu hari ketika saya pergi ke Jakarta
dalam rangka kegiatan organisasi. Saya ditelpon
oleh teman saya. Katanya, ada anak pemulung yang berdiri menunggu
seseorang di depan tempat kost. Saat itu
saya menyuruh teman saya untuk memberikan uang sepuluh ribu rupiah kepadanya lalu
menyampaikan salam saya pada dia. “Bilang saya masih di Luar Kota. Belum sempat
mengumpulkan kaleng-kaleng bekas.”
Alangkah kagetnya saya ketika teman
saya memberitahu, bahwa dia menolak uang pemberiannya. “Maaf bang saya bukan
peminta-minta. Saya pemulung. Nanti saja kalau sudah ada kaleng-kaleng bekas
kasikan sama saya.” Begitu jawaban anak pemulung itu pada teman saya.
Saat itu saya sadar, bahwa tidak
semua dalam hidup ini bisa kita selesaikan, atau kita ganti dengan uang. Uang
memang kita perlukan untuk keberlangsungan hidup. Tapi itu bukan tujuan
melainkan hanya sebagai alat saja.
Putri Dara Hitam, 9 September 2013
menarik sekali info yang di sajikan
BalasHapusterus posting info info yang lain nya