(Cerpen ini di ikutkan dalam lomba Majalah De Teens. Terbit di harian Borneo Tribune Edisi minggu 24
November 2013).
“Wisudawan berikutnya. Memet Alfikri, Sarjana Ekonomi. Namaku bergaung-gaung keluar dari sound besar aula. Aku menoleh ke kursi belakang. Ibu tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk. Aku maju kedepan kemudian menaiki podium dengan penuh percaya diri. Dengan sedikit membungkukkan badan. Pak Rektor tersenyum lebar, lalu memindahkan kuncir togaku ke sebelah kanan. Konon, Kuncir toga yang awalnya berada di sebelah kiri bermakna lebih banyak otak kiri yang kita gunakan semasa kuliah. Maka dengan dipindahkan ke sebelah kekanan, para wisudawan tidak hanya menggunakan otak kiri saja setelah lulus kuliah. Filosofi lainnya yang aku baca dari beberapa buku, kuncir toga melambangkan tali pita pembatas buku. Dengan pindah tali, para sarjana terus membuka lembaran buku supaya ilmunya tidak stagnan.
Jepret,.. terdengar bunyi Kamera DSLR disertai kedipan lampu blitz menangkap moment bersejarah itu. Sejurus kemudian, giliran Pak Dekan yang menjabat tanganku dengan erat sambil menyerahkan sebuah map berwarna orange, berisi ijazah.
Aku tersenyum lebar di depan para wisudawan dan wisudawati, kemudian kembali ke tempat dudukku. Tangan kananku memegangi ujung seutas tali merah yang telah bergeser ke sebelah kanan wajahku. Kuncir toga. Seutas tali merah ini membuatku seperti ditarik oleh pusaran waktu. Pusaran itu menelanku dalam-dalam hingga aku seperti berada di masa satu tahun yang lalu.
Sore itu, Seseorang datang ke tempat kosku seperti dibawa angin sore yang berhembus kencang. Sebelumnya terdengar bunyi suara kuda besi berhenti di halaman kosku. Tak ada bunyi ketokan pintu atau sekedar salam yang terucap. Tiba-tiba pintu kamar kosku terbuka.
“Kamu disuruh pulang sama bibimu. Ibumu sakit.”
“Apa?”
“Kemarin aku pulang kampung. Aku kerumahmu. Ibumu batuk-batuk. Badannya menggigil. Panas dingin. Jadi bibimu titip pesan. Sebaiknya kamu pulang karena gak ada yang jaga ibumu.” Ucap Hanif, teman sekampung yang tinggal dekat dengan tempat kos-ku.
Hatiku bergetar aneh begitu mendengar ucapan Hanif. Dadaku tiba-tiba sesak, serasa ada yang menekan dari dada hingga ke ulu hati. Tanpa berpikir panjang sore itu juga aku putuskan untuk pulang ke rumah dengan meminjam motor Hanif.
Aku sebetulnya malu meminjam motor Hanif, tapi karena keadaan darurat apa boleh buat. Rasa malu itu hinggap bukan tanpa alasan. Aku sering meminjam motor dia semenjak motorku dijual untuk bertahan hidup di kos.
Dulu, ketika awal kuliah. Aku dan Hanif sama-sama berjalan kaki pergi ke kampus. Beberapa bulan kemudian, tepatnya setelah memasuki semester kedua. Terpikir untuk hidup mandiri. Belajar untuk tidak mengandalkan uang kiriman orangtua di kampung yang bekerja sebagai petani.
Kudapati ibu tergolek melingkar dilantai papan rumah. Bibiku duduk disampingnya sambil memijat kakinya.
“Tuh, Memetnya sudah pulang.” Ucap bibi. Dengan tidak bertenaga ibu menggulingkan badannya menghadapku. Sebuah senyum lebar terbit dari wajahnya. Aku cium tangannya dengan takzim.
“Ibu gak apa-apa nak. Cuma bibimu saja yang khawatir sama ibu. Tadi sudah pergi ke Puskesmas. Kata pak mantri ibu cuma demam biasa. ” Ucap ibu. Dari dulu dia selalu bersikap tegar dan pantang mengeluh. Terjalnya jalan hidup mulai di pengungsian hingga membuka lembaran “hidup baru” di Relokasi Madani menerpa ibu menjadi manusia yang pantang mengeluh.
Relokasi Madani dahulunya adalah hutan belantara. Namun semenjak tahun 1999, hutan dengan lahan gambut ini berubah menjadi pemukiman warga yang diperuntukkan bagi pengungsi ketika terjadi kerusuhan sosial di Bumi Serambi Mekkah Provinsi Borneo Barat.
“Kamu sekarang sudah jarang solat ya?” Tanya ibu. Dia seperti mengetahui tingkah laku anaknya hanya dengan melihat wajahnya. Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaan ibu. Ingin sekali rasanya memberitahu pada ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tapi aku takut. Takut sakit ibuku akan semakin bertambah parah apabila dia tau kelakuan anaknya.
“Ya sudah. Nanti kamu pergi ke rumah kiai Mustofa ya. Mintakan air doa untuk ibu.” Pinta Ibu. Aku mengangguk, menyanggupi permintaannya.
Malam itu juga aku pergi ke rumah Kiai Mustofa. Kiai Sepuh yang sangat dihormati di Desa Madani. Konon, dia memiliki ilmu hikmah yang tidak dimiliki oleh sembarangan orang.
Kiai Mustofa sedang duduk santai di teras begitu aku tiba di halaman ndalemnya. Aku mengucap salam kemudian mencium tangannya dengan takzim. Beliau tersenyum seraya mengelus-elus pundakku. Tak lama kemudian dia menyuruh seorang santri untuk membuatkan aku segelas teh hangat.
“Gimana sudah siap untuk menikah?” Tanya kiai Mustofa kepadaku disertai senyum.
Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan pertama kali beliau. Pertanyaan ini adalah pertanyaan ketiga kalinya setelah aku lulus dari Madrasah Aliyah di desa Madani. Dari beberapa santri Madrasah Aliyah Ma’arif yang lulus, hanya aku yang ditawari untuk menikahi salah satu santrinya. Kedekatan kiai Mustota dengan keluargaku membuat aku diperlakukan seperti anaknya sendiri. Disamping itu, kiai Mustofa seolah bisa membaca tanda-tanda di wajahku kalau aku salah satu santri yang tak mampu menjaga syahwatku. Namun aku selalu menolaknya dengan halus.
Lagi-lagi aku mengeluarkan jurus tersenyum malu kemudian menjawab. “Belum siap pak Kiai.”
“Menikah itu menundukkan pandangan nak. Lagian kamu gak kasian sama ibumu yang tinggal sebatang kara di rumah. Kalau kamu punya istri kan ada yang nemani ibumu. Sementara kamu masih bisa melanjutkan kuliahmu sambil bekerja. Kamu bisa pulang seminggu sekali ke sini. Toh dari Madani ke Kota Khatulistiwa kan bisa ditempuh dalam tiga jam perjalanan.” Ucap kiai Mustofa. Seperti sedang menasihati anaknya sendiri.
Setelah berbicara banyak hal. Mengobrol kesana kemari. Aku menyampaikan maksud kedatanganku. “Pak kiai, disamping silaturahim. Saya ingin menyampaikan salam ibu saya pada pak kiai. Beliau sedang sakit jadi mohon di doakan oleh pak kiai.” Ucapku seraya menyedorkan sebuah botol air mineral.
“Sakit apa ibumu?”
“Panas dingin badannya pak kiai. Tadi sudah di bawa ke puskesmas. Kata pak mantri cuma demam biasa bukan types.”
Kiai Mustofa mengangguk-angguk, lalau dia memandangiku agak lama. Seperti mengeja tubuhku. Aku menundukkan kepala seraya memandangi buliran tasbihnya yang terus berputar di tangannnya. Lalu dia berkata: “Begini nak, sepertinya penyebab sakitnya ibumu itu karena kebanyakan pikiran. Aku tahu betul karakter ibumu. Karena aku sudah mengenal ibumu dari semenjak remaja.” Ucap kiai Mustofa. Dia berhenti sejenak untuk menghisap sebatang rokoknya yang hampir habis.
Dulu, sewaktu tinggal di Senangi- Kabupaten Bumi Serambi Mekkah kiai Mustofa memang berteman akrab dengan almarhum ayahku. Bahkan menurut cerita, adalah kiai Mustofa yang meminangkan ibu untuk dinikahi oleh ayah.
“Mungkin ada sesuatu yang membuat ibumu kepikiran. Coba nanti kamu tanyakan sama bibimu.” Pungkasnya. Lalu dia mengambil botol air mineral kemudian meniupnya tiga kali kedalam botol setelah selesai di doakan.
Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Kiai Mustofa. Aku hanya menganggukkan kepala lalu berpamitan setelah botol air mineral itu selesai dibacakan doa.
Purnama bersinar. Sinarnya yang terpancar terang menyepuh dedaunan hingga jalanan terlihat terang. Cahaya purnama senantiasa terasa istimewa dikampung kami dan selalu dinanti ditengah listrik yang tak kunjung datang menerangi.
Aku tidak langsung pulang kerumah. Aku menyempatkan untuk singgah kerumah bibi dan menanyakan apa gerangan yang sedang terjadi dengan ibu?
Mula-mula bibi enggan untuk menceritakan apa yang sedang terjadi dengan batin ibu. Namun setelah aku menjelaskan pertemuanku dengan kiai Mustofa. Bibi baru bercerita. “Begini met. Minggu lalu bibi dan ibumu pergi ke acara selamatan wisuda si Fitri. Ibumu kemudian bertanya pada Fitri. “Kok, kamu sudah selesai ya kuliahnya? Padahal kan duluan Memet satu tahun masuk kuliahnya.” Terus kata Fitri kamu jarang ke kampus. Kamu juga lebih mementingkan organisasimu daripada kuliah.” Ibumu merasa kecewa mendengar jawaban Fitri. Sepulang dari acara itu ibumu terlihat murung dan seringkali terlihat duduk melamun.” Terang bibi.
Aku tertunduk malu di depan bibi. Merasa berdosa karena telah mengecewakan ibu. Air mataku serasa ingin tumpah. Aku paksakan diriku untuk tegar. Tak ada gunanya menangis di hadapan bibi. Tak patut aku meminta belas kasian bibi. Karena itu tidak akan mengobati luka perasaan ibuku.
Setelah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi dengan perasaan ibu, aku pulang kerumah.
Ibuku sudah tertidur ketika aku masuk ke kamarnya. Aku letakkan botol air mineral yang sudah di doakan oleh kiai Mustofa disampingnya.
Aku rebahkan badanku ke lantai, udara dingin masuk melalui celah papan rumah. Aku menarik gulungan sarungku untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Melingkar dalam gulungan sarung. Dan perlahan aku pun tertidur.
Fajar menyingsing. Semesta bertasbih. Lantunan suara adzan pun menggema bersahut-sahutan. Aku memimpin solat subuh berjamaah bersama ibu.
“Kamu kembali hari ini saja ke tempat kosmu.” Ucap ibu seuasai solat.
“Ibu. Perlu istirahat, jadi biar saya disini saja bantu-bantu ibu.”
“Sudah. Ibu ndak apa-apa. Ibu sudah sehat. Kamu jangan mengkhawatirkan kesehatan ibu. Ibu bisa sendiri disini. Lagian, ibu kan tidak ke ladang minggu-minggu ini karena padi sudah selesai disemai.”
“Tapi bu...”
“Sudah. Kamu kuliah saja. Selesaikan apa yang telah kamu mulai.”
Aku tidak bisa menolak permintaan ibu. Pagi itu juga setelah selesai sarapan aku berpamitan pada ibu. Sebelum meninggalkan rumah, aku membuat perjanjian dengan diriku. “Aku akan menebus masa laluku yang terbuang sia-sia kemudian kembali kerumah ini dengan status sarjana. Ya Rab, inilah janjiku pada diriku. Semoga Engkau senantiasa membimbingku ke jalan yang lurus”.
Aku nyalakan kuda besiku, injak gigi. Dan tarikan gas memulai perjalanan hidup baruku.
“Wisudawan berikutnya. Memet Alfikri, Sarjana Ekonomi. Namaku bergaung-gaung keluar dari sound besar aula. Aku menoleh ke kursi belakang. Ibu tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk. Aku maju kedepan kemudian menaiki podium dengan penuh percaya diri. Dengan sedikit membungkukkan badan. Pak Rektor tersenyum lebar, lalu memindahkan kuncir togaku ke sebelah kanan. Konon, Kuncir toga yang awalnya berada di sebelah kiri bermakna lebih banyak otak kiri yang kita gunakan semasa kuliah. Maka dengan dipindahkan ke sebelah kekanan, para wisudawan tidak hanya menggunakan otak kiri saja setelah lulus kuliah. Filosofi lainnya yang aku baca dari beberapa buku, kuncir toga melambangkan tali pita pembatas buku. Dengan pindah tali, para sarjana terus membuka lembaran buku supaya ilmunya tidak stagnan.
Jepret,.. terdengar bunyi Kamera DSLR disertai kedipan lampu blitz menangkap moment bersejarah itu. Sejurus kemudian, giliran Pak Dekan yang menjabat tanganku dengan erat sambil menyerahkan sebuah map berwarna orange, berisi ijazah.
Aku tersenyum lebar di depan para wisudawan dan wisudawati, kemudian kembali ke tempat dudukku. Tangan kananku memegangi ujung seutas tali merah yang telah bergeser ke sebelah kanan wajahku. Kuncir toga. Seutas tali merah ini membuatku seperti ditarik oleh pusaran waktu. Pusaran itu menelanku dalam-dalam hingga aku seperti berada di masa satu tahun yang lalu.
Sore itu, Seseorang datang ke tempat kosku seperti dibawa angin sore yang berhembus kencang. Sebelumnya terdengar bunyi suara kuda besi berhenti di halaman kosku. Tak ada bunyi ketokan pintu atau sekedar salam yang terucap. Tiba-tiba pintu kamar kosku terbuka.
“Kamu disuruh pulang sama bibimu. Ibumu sakit.”
“Apa?”
“Kemarin aku pulang kampung. Aku kerumahmu. Ibumu batuk-batuk. Badannya menggigil. Panas dingin. Jadi bibimu titip pesan. Sebaiknya kamu pulang karena gak ada yang jaga ibumu.” Ucap Hanif, teman sekampung yang tinggal dekat dengan tempat kos-ku.
Hatiku bergetar aneh begitu mendengar ucapan Hanif. Dadaku tiba-tiba sesak, serasa ada yang menekan dari dada hingga ke ulu hati. Tanpa berpikir panjang sore itu juga aku putuskan untuk pulang ke rumah dengan meminjam motor Hanif.
Aku sebetulnya malu meminjam motor Hanif, tapi karena keadaan darurat apa boleh buat. Rasa malu itu hinggap bukan tanpa alasan. Aku sering meminjam motor dia semenjak motorku dijual untuk bertahan hidup di kos.
Dulu, ketika awal kuliah. Aku dan Hanif sama-sama berjalan kaki pergi ke kampus. Beberapa bulan kemudian, tepatnya setelah memasuki semester kedua. Terpikir untuk hidup mandiri. Belajar untuk tidak mengandalkan uang kiriman orangtua di kampung yang bekerja sebagai petani.
Kudapati ibu tergolek melingkar dilantai papan rumah. Bibiku duduk disampingnya sambil memijat kakinya.
“Tuh, Memetnya sudah pulang.” Ucap bibi. Dengan tidak bertenaga ibu menggulingkan badannya menghadapku. Sebuah senyum lebar terbit dari wajahnya. Aku cium tangannya dengan takzim.
“Ibu gak apa-apa nak. Cuma bibimu saja yang khawatir sama ibu. Tadi sudah pergi ke Puskesmas. Kata pak mantri ibu cuma demam biasa. ” Ucap ibu. Dari dulu dia selalu bersikap tegar dan pantang mengeluh. Terjalnya jalan hidup mulai di pengungsian hingga membuka lembaran “hidup baru” di Relokasi Madani menerpa ibu menjadi manusia yang pantang mengeluh.
Relokasi Madani dahulunya adalah hutan belantara. Namun semenjak tahun 1999, hutan dengan lahan gambut ini berubah menjadi pemukiman warga yang diperuntukkan bagi pengungsi ketika terjadi kerusuhan sosial di Bumi Serambi Mekkah Provinsi Borneo Barat.
“Kamu sekarang sudah jarang solat ya?” Tanya ibu. Dia seperti mengetahui tingkah laku anaknya hanya dengan melihat wajahnya. Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaan ibu. Ingin sekali rasanya memberitahu pada ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tapi aku takut. Takut sakit ibuku akan semakin bertambah parah apabila dia tau kelakuan anaknya.
“Ya sudah. Nanti kamu pergi ke rumah kiai Mustofa ya. Mintakan air doa untuk ibu.” Pinta Ibu. Aku mengangguk, menyanggupi permintaannya.
Malam itu juga aku pergi ke rumah Kiai Mustofa. Kiai Sepuh yang sangat dihormati di Desa Madani. Konon, dia memiliki ilmu hikmah yang tidak dimiliki oleh sembarangan orang.
Kiai Mustofa sedang duduk santai di teras begitu aku tiba di halaman ndalemnya. Aku mengucap salam kemudian mencium tangannya dengan takzim. Beliau tersenyum seraya mengelus-elus pundakku. Tak lama kemudian dia menyuruh seorang santri untuk membuatkan aku segelas teh hangat.
“Gimana sudah siap untuk menikah?” Tanya kiai Mustofa kepadaku disertai senyum.
Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan pertama kali beliau. Pertanyaan ini adalah pertanyaan ketiga kalinya setelah aku lulus dari Madrasah Aliyah di desa Madani. Dari beberapa santri Madrasah Aliyah Ma’arif yang lulus, hanya aku yang ditawari untuk menikahi salah satu santrinya. Kedekatan kiai Mustota dengan keluargaku membuat aku diperlakukan seperti anaknya sendiri. Disamping itu, kiai Mustofa seolah bisa membaca tanda-tanda di wajahku kalau aku salah satu santri yang tak mampu menjaga syahwatku. Namun aku selalu menolaknya dengan halus.
Lagi-lagi aku mengeluarkan jurus tersenyum malu kemudian menjawab. “Belum siap pak Kiai.”
“Menikah itu menundukkan pandangan nak. Lagian kamu gak kasian sama ibumu yang tinggal sebatang kara di rumah. Kalau kamu punya istri kan ada yang nemani ibumu. Sementara kamu masih bisa melanjutkan kuliahmu sambil bekerja. Kamu bisa pulang seminggu sekali ke sini. Toh dari Madani ke Kota Khatulistiwa kan bisa ditempuh dalam tiga jam perjalanan.” Ucap kiai Mustofa. Seperti sedang menasihati anaknya sendiri.
Setelah berbicara banyak hal. Mengobrol kesana kemari. Aku menyampaikan maksud kedatanganku. “Pak kiai, disamping silaturahim. Saya ingin menyampaikan salam ibu saya pada pak kiai. Beliau sedang sakit jadi mohon di doakan oleh pak kiai.” Ucapku seraya menyedorkan sebuah botol air mineral.
“Sakit apa ibumu?”
“Panas dingin badannya pak kiai. Tadi sudah di bawa ke puskesmas. Kata pak mantri cuma demam biasa bukan types.”
Kiai Mustofa mengangguk-angguk, lalau dia memandangiku agak lama. Seperti mengeja tubuhku. Aku menundukkan kepala seraya memandangi buliran tasbihnya yang terus berputar di tangannnya. Lalu dia berkata: “Begini nak, sepertinya penyebab sakitnya ibumu itu karena kebanyakan pikiran. Aku tahu betul karakter ibumu. Karena aku sudah mengenal ibumu dari semenjak remaja.” Ucap kiai Mustofa. Dia berhenti sejenak untuk menghisap sebatang rokoknya yang hampir habis.
Dulu, sewaktu tinggal di Senangi- Kabupaten Bumi Serambi Mekkah kiai Mustofa memang berteman akrab dengan almarhum ayahku. Bahkan menurut cerita, adalah kiai Mustofa yang meminangkan ibu untuk dinikahi oleh ayah.
“Mungkin ada sesuatu yang membuat ibumu kepikiran. Coba nanti kamu tanyakan sama bibimu.” Pungkasnya. Lalu dia mengambil botol air mineral kemudian meniupnya tiga kali kedalam botol setelah selesai di doakan.
Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Kiai Mustofa. Aku hanya menganggukkan kepala lalu berpamitan setelah botol air mineral itu selesai dibacakan doa.
Purnama bersinar. Sinarnya yang terpancar terang menyepuh dedaunan hingga jalanan terlihat terang. Cahaya purnama senantiasa terasa istimewa dikampung kami dan selalu dinanti ditengah listrik yang tak kunjung datang menerangi.
Aku tidak langsung pulang kerumah. Aku menyempatkan untuk singgah kerumah bibi dan menanyakan apa gerangan yang sedang terjadi dengan ibu?
Mula-mula bibi enggan untuk menceritakan apa yang sedang terjadi dengan batin ibu. Namun setelah aku menjelaskan pertemuanku dengan kiai Mustofa. Bibi baru bercerita. “Begini met. Minggu lalu bibi dan ibumu pergi ke acara selamatan wisuda si Fitri. Ibumu kemudian bertanya pada Fitri. “Kok, kamu sudah selesai ya kuliahnya? Padahal kan duluan Memet satu tahun masuk kuliahnya.” Terus kata Fitri kamu jarang ke kampus. Kamu juga lebih mementingkan organisasimu daripada kuliah.” Ibumu merasa kecewa mendengar jawaban Fitri. Sepulang dari acara itu ibumu terlihat murung dan seringkali terlihat duduk melamun.” Terang bibi.
Aku tertunduk malu di depan bibi. Merasa berdosa karena telah mengecewakan ibu. Air mataku serasa ingin tumpah. Aku paksakan diriku untuk tegar. Tak ada gunanya menangis di hadapan bibi. Tak patut aku meminta belas kasian bibi. Karena itu tidak akan mengobati luka perasaan ibuku.
Setelah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi dengan perasaan ibu, aku pulang kerumah.
Ibuku sudah tertidur ketika aku masuk ke kamarnya. Aku letakkan botol air mineral yang sudah di doakan oleh kiai Mustofa disampingnya.
Aku rebahkan badanku ke lantai, udara dingin masuk melalui celah papan rumah. Aku menarik gulungan sarungku untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Melingkar dalam gulungan sarung. Dan perlahan aku pun tertidur.
Fajar menyingsing. Semesta bertasbih. Lantunan suara adzan pun menggema bersahut-sahutan. Aku memimpin solat subuh berjamaah bersama ibu.
“Kamu kembali hari ini saja ke tempat kosmu.” Ucap ibu seuasai solat.
“Ibu. Perlu istirahat, jadi biar saya disini saja bantu-bantu ibu.”
“Sudah. Ibu ndak apa-apa. Ibu sudah sehat. Kamu jangan mengkhawatirkan kesehatan ibu. Ibu bisa sendiri disini. Lagian, ibu kan tidak ke ladang minggu-minggu ini karena padi sudah selesai disemai.”
“Tapi bu...”
“Sudah. Kamu kuliah saja. Selesaikan apa yang telah kamu mulai.”
Aku tidak bisa menolak permintaan ibu. Pagi itu juga setelah selesai sarapan aku berpamitan pada ibu. Sebelum meninggalkan rumah, aku membuat perjanjian dengan diriku. “Aku akan menebus masa laluku yang terbuang sia-sia kemudian kembali kerumah ini dengan status sarjana. Ya Rab, inilah janjiku pada diriku. Semoga Engkau senantiasa membimbingku ke jalan yang lurus”.
Aku nyalakan kuda besiku, injak gigi. Dan tarikan gas memulai perjalanan hidup baruku.