Bekerja untuk ujrah bukan ajrah - Senyum sumringah tampak dari wajah Normiah, salah satu aktivis Koperasi Syariah Mitra Masyarakat Ketika dia datang kerumah. Jika hari-hari biasanya dia datang kerumah hanya sekedar untuk nyetor tabungan siswa Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) yang dia kumpulkan selama satu minggu, kali ini dia datang khusus memenuhi permintaan saya menerima honor pertamanya dari koperasi kebanggaannya.
Memang, honor yang dia terima tidak sebanding dengan pengorbanannya selama satu tahun dia mengabdi di koperasi. Tapi paling tidak, dia sudah bisa melihat bahwa apa yang dia kerjakan selama satu tahun itu tidak sia-sia.
Memang, honor yang dia terima tidak sebanding dengan pengorbanannya selama satu tahun dia mengabdi di koperasi. Tapi paling tidak, dia sudah bisa melihat bahwa apa yang dia kerjakan selama satu tahun itu tidak sia-sia.
"Wah, honor perdana ni." Ujarnya ketika menandatangani selembar kwitansi yang saya sodorkan.
"Iya, tolong di simpan buat jimat." Jawab saya disambut dengan tawa.
Honor yang akan diterima Normiah dan para aktivis di koperasi syariah Mitra Masyarakat selama satu tahun kedepan memang masih di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP), jauh dari kata layak jika dibandingkan dengan beban pekerjaannya. Tapi saya yakin mereka akan tetap bekerja yang terbaik untuk kemajuan koperasi.
Tentang honor aktivis ini, Saya jadi teringat dengan gaji abdi ndalem keraton Yogyakarta yang bekerja jauh dari standar gaji yang "layak". Namum pengabdian yang tulus akan junjungannya yaitu raja Yogyakarta, Bagi abdi dalem gaji yang diterima sebesar Rp. 20.000 per-bulannya adalah berkah dan tanda cinta kasih sultan. Gaji itu tidak pernah mereka pakai untuk memenuhi kebutuhannya melainkan disimpan dan akan dipakai bila kodisi memaksakan. Gaji yang jauh di bawah standar tidak pernah menjadi penghambat mereka dalam melaksanakan tugas, karena yang mereka cari bukanlah materi melainkan berkah dari sultan atas kehidupannya.
Tahun 2005, ketika saya berkesempatan berkunjung ke keraton Yogyakarta, saya "mengorek" informasi lebih jauh dari mereka. Saat itu saya melontarkan pertanyaan pada abdi ndalem, Apa yang menjadi pertimbangan dan motivasi mereka memilih jalan hidup sebagai seorang abdi dalem kraton? Jawaban mereka adalah selain meneruskan tradisi orang tua, ada sisi batiniah yang membuat mereka bertahan. Alasan sisi batiniah itu ialah pandangan serta prinsip bahwa menjadi abdi dalem dapat membuat hati menjadi tenang dan dapat mengendalikan hawa nafsu keduniawian. Sebuah jawaban yang jauh dari nalar ekonomi. Tak dapat diukur secara matematis, namun bila kita mengukurnya dengan mata hati tentulah akan mendapatkan jawaban bagaimana para abdi dalem mampu hidup dan bertahan dengan pendapatan yang rendah.
Pengabdian para aktivis koperasi juga tidak bisa diukur dari perolehan materi semata tetapi juga rahmat dan manfaat dari setiap tetes keringat mereka. Mereka bekerja untuk memperoleh Ujrah (ganjaran), bukan ajrah (pendapatan) semata.
Saya yakin, pekerjaan mereka bernilai ibadah di hadapan Allah SWT. Yakin pekerjaan mereka bernilai ibadah, karena ajaran filantrofi Islam dalam bentuk ekonomi syariah tidak hanya mengandung nilai ekonomi, tetapi juga nilai transendensi dimana harta merupakan sarana manusia meraih keutamaan spiritual yang membuat hidup manusia bermakna.