Penyakit koperasi syariah berikutnya adalah La Yamutu Wala Yahya. Kata ini mengandung dua Makna. Makna yang pertama tentang kata ini adalah Hidup segan mati tak mau. Jumlah koperasi syariah baik yang berupa Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) maupun BMT yang terdaftar di Kementerian Koperasi dan UMKM memang cukup banyak, namun jumlah tersebut tidak berbanding dengan tingkat kemajuan koperasi baik dari segi aset maupun dalam jumlah anggotanya. Sebagai gambaran, di dalam ruang lingkup Kota Pontianak saja jumlah Koperasi Syariah dan BMT melebihi jumlah perbankan dan koperasi kredit konvensional. Namun demikian, Jumlah total aset dan anggota koperasi syariah maupun BMT tertinggal jauh dengan koperasi kredit konvensional yang berada di bawah naungan Credit Union.
Koperasi syariah yang diharapkan sebagai penggerak perekonomian ummat di Indonesia agar keluar dari cengkraman kemiskinan, pada kenyataannya hanyalah sebagai angin lalu saja. Memang Cukup banyak koperasi yang bermunculan, namun banyak pula yang hanya meninggalkan namanya saja dan hilang secara perlahan seiring berjalannya waktu. Padahal sesungguhnya koperasi syariah sangat didamba kehadirannya oleh ummat sebagai jembatan pendistribusian harta antara yang kelebihan harta dengan yang sedang kekurangan harta.
Makna yang kedua dari kalimat La Yamutu Wala Yahya ialah Tidak Bermutu karena tidak ada biaya. Makna ini memang tidak sesuai dengan kaidah bahasa arabnya. Tafsir daripada Tidak Bermutu karena tidak ada biaya adalah tafsir plesetan yang lazim kita jumpai dalam dunia pesantren, atau tafsir kaum santri atas suatu kondisi tertentu yang menggambarkan suatu lembaga yang tak memiliki mutu karena terhambat oleh biaya. Tafsir semacam ini kemudian dibenarkan oleh sebagian orang dan menjadi pola pikir bahwa pekerjaan yang tidak bermutu akibat tidak adanya biaya.
Pola pikir La Yamutu Wala Yahya ini, saya jumpai ketika bulan yang lalu saya bertemu salah satu pengurus Koperasi Pondok Pesantren di Kabupaten Kubu Raya dalam rangka sosialisasi Induk Koperasi Syariah (INKOPSYAH) di salah satu hotel berbintang di Pontianak. Saat pertemuan tersebut, saya sempat bertanya kepada pengurus Koperasi Pondok Pesantren tersebut prihal KOPONTREN yang dikelolanya. Dan jawabannya persis seperti yang saya ungkapkan diatas. Dia berkeluh kepada saya bahwa penyebab dari tidak bermutunya koperasi yang dikelolanya lantaran tidak ada biaya. Dia memiliki pandangan bahwa penyebab kegagalan dari koperasi pondok pesantren adalah tidak adanya support biaya dari pemerintah. Biaya, yang dalam hal ini adalah bantuan modal pemerintah dianggap sebagai solusi ampuh dalam mengatasi permasalahan koperasi. Padahal, kalau kita kaji lebih mendalam bantuan dari pemerintah berupa permodalan terhadap koperasi justru banyak membuat koperasi kehilangan jati dirinya dan membunuh koperasi secara perlahan-lahan. Banyak sekali contoh koperasi yang setelah disuntikkan modal oleh pemerintah malah mati secara perlahan-lahan. Pola pikir pengurus yang mendirikan koperasi syariah hanya untuk meminta bantuan permodalan dari pemerintah telah membuat semua komponen dalam lembaga tersebut tidak mampu melihat kekuatan dan peluang yang ada dalam dirinya.
Jikalau pola pikir semacam ini masih ada dalam benak pengurus suatu koperasi syariah dan diamini oleh jajarannya , maka kondisi anggota tak ubahnya seperti kasus ulat dalam penelitian John Hendry Fabre. Seorang ilmuwan dari Perancis yang mengadakan percobaan unik terhadap sekelompok spesies ulat.
Dalam percobaan tersebut, Fabre mengambil beberapa ulat dan membuatnya sedemikian rupa sehingga ulat yang paling depan menyentuh ulat yang paling belakang. Ulat tersebut membentuk suatu lingkaran penuh mengelilingi sebuah pot bunga. Ditengah pot bunga diletakkan ranting dan pucuk daun muda yang menjadi makanan pokok ulat-ulat tersebut. Kemudian mulailah ulat-ulat bergerak berjalan beriringan mengitari pot bunga. berputar dan terus berputar, jam demi jam, hari demi hari, hingga akhirnya genaplah tujuh hari dan tujuh malam mereka berputar-putar mengitari pot bunga. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan ulat-ulat tersebut mati karena kelaparan. Padahal, didekat mereka yang jaraknya tidak lebih dari radius 10 senimeter terdapat banyak sekali makanan kesukaan mereka. Mereka telah berusaha keras untuk mencari makanan, tetapi berhubung masing-masing ulat tersebut memilih untuk "membutakan" matanya dengan pasrah mengikuti ulat didepannya, maka matilah mereka bersama-sama di dekat makanan yang mereka cari.
Percobaan Fabre tersebut memberikan pelajaran berharga bagi kita, bahwa seringkali kita membuat keterbatasan pada pola pikir kita. Mereka tidak menyadari bahwa di dekat mereka sebenarnya ada nikmat besar yang menunggu.
Banyak sekali koperasi syariah didirikan oleh pengurusnya yang hanya untuk mencari sumber pendapatan lembaganya melalui suntikan dana dari pemerintah (sekedar cari bantuan). Padahal sumber terbesar pendapatan meraka berada dilingkungan mereka, yakni dari perputaran dana anggotanya.
*) Abdul Hamid, SE : Ketua Dewan Pengurus Koperasi Syariah Mitra Masyarakat
bagus sekali info nya
BalasHapussangat menarik terimakasih
isi blog nya sangat begus memberi wawsan baru
BalasHapusterimakasih