Kavling No. 23 di RT 61 RW 18 Parit Rintis Sungai Punggur Kecil Kuburaya. |
Istri saya sudah mengemas toples-toples yang kosong. Beberapa toples yang kue keringnya sudah hampir habis dijadikan satu. Gelas-gelas sloki pun sudah dimasukkan kembali kedalam kotaknya. Ini adalah jurus penghematan, agar lebaran tahun depan tidak perlu membeli gelas baru lagi. Disamping hemat, ini juga bagian dari mengamankan barang-barang tersebut dari "amukan" putri kami, Wirda. Wirda sekarang usia nya sudah 10 bulan. Dia mulai belajar berdiri, berpegangan pada kursi ataupun meja.
Lebaran tahun ini, adalah lebaran pertama bagi Wirda. Tadi pagi, saya mencongkel celengan hasil nanggok selama tujuh hari berlebaran ke tempat keluarga, tetangga dan teman-teman kami. Jumlahnya terbilang cukup banyak. Lima ratus lima belas ribu rupiah. Terdiri dari pecahan 50 ribu, 2o ribu, 10 ribu, 5 ribu, hingga 2 ribu rupiah. Semuanya adalah uang kertas baru.
Menjelang lebaran, Bank Indonesia memang memberlakukan penukaran uang baru di sejumlah bank-bank yang ada di kota Pontianak. Jadi, masyarakat banyak menukar uang mereka untuk persiapan nanggok dengan pecahan uang baru tersebut.
Tradisi nanggok. adalah tradisi memberi uang kepada anak-anak yang datang bertamu untuk berlebaran. tradisi ini mulanya adalah tradisi masyarakat suku Melayu di daerah pesisir. Namun pada perkembangan nya, tradisi ini terus meluas hampir ke seluruh Kalimantan Barat. Tidak hanya suku Melayu, suku-suku lain seperti Sunda, Jawa, Madura dan Dayak pun membumikan tradisi ini.
"uangnya di simpan aja bang, di koperasi syariah, tak usah dibelikan mainan semua. Kita ajari anak kita berinvestasi sejak kecil. Agar nanti kalau sudah dewasa dia tahu mengelola harta." Ujar isteri saya, begitu saya selesai menghitung tabungan Wirda.
Kami berdua memang sepakat untuk mengajari anak Wirda berinvestasi sejak dini. Ibunya menyisihkan sisa uang belanja hariannya untuk tabungan Wirda. Selama sepuluh bulan sudah terkumpul satu juta rupiah. Nanti kalau nominalnya sudah mencapai puluhan juta. Tabungan tersebut akan kami belikan sebidang tanah, untuk lahan pertanian. Dan hasil pertanian itulah yang akan dijadikan bekal untuk biaya pendidikan Wirda ketika masuk ke pesantren. Sebuah rencana sederhana, dari keluarga yang sederhana.
Saya sendiri memang suka bercocok tanam. Dulu, sebelum kami merantau ke Kota Pontianak, keluarga kami adalah petani di pulau Madura. Saat ini, saya sudah sepuluh tahun tinggal di Kota Pontianak. Tapi sampai saat ini kami masih belum punya rumah permanen. Rumah yang kami tempati, tanahnya masih numpang diatas tanah paman saya, Bapak Ismail.
Setiap kali bangun tidur, pikiran saya selalu dihinggapi keingianan untuk bisa punya rumah diatas tanah sendiri. Enak rasanya kalau bisa hidup mandiri, apalagi kalau punya rumah diatas lahan yang luas. Biar tidak mewah, asal ada lahan pekarangan untuk bercocok tanam.
Sayur-sayuran tinggal ambil tanpa harus membeli dari pasar. Buah-buahan di petik di pekarangan sendiri. Dan yang paling membahagiakan apabila tanaman kami itu bermanfaat. Bermanfaat untuk kami sedekahkan kepada tetangga ataupun kepada burung dan binatang lainnya. Sungguh ini adalah amal yang amat berharga bagi seorang manusia.
Saya kadang geram kalau melihat sebuah lahan tidur. Sekarang ini banyak orang kaya di Pontianak dan dari luar daerah yang membeli tanah untuk investasi, tapi tanah itu tidak diolah untuk lahan pertanian. Dibiarkan begitu saja. Nanti kalau daerah itu sudah maju, harga nilai tanahnya naik, barulah tanah itu di jualnya. Yang lebih miris, sebagian besar tanah yang dekat dengan perkotaan sudah jadi milik toke-toke Jakarta.
Negara seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa pada orang berperilaku serakah semacam ini. Nikmat Allah berupa sumber daya alam yang melimpah, yang diberikan kepada negeri Indonesia menjadi mubazir begitu saja. Maka tak heran kalau kebutuhan pangan dan buah-buahan sampai saat ini kita masih impor terus dari luar.
Tanah yang subur menjadi tidak ada manfaatnya di tangan orang yang kufur nikmat. Padahal sahabat nabi Khalifah Umar bin Khathab berpesan kepada kita :“Siapa saja yang mempunyai kekayaan hendaknya mengembangkannya dan siapa saja yang mempunyai tanah, hendaknya menanaminya”.