Hari ini kami berkesempatan mengunjungi Kantor Badan Pengawas Pemilu Kalimantan Barat. Kedatangan kami ke kantor 'wasit' pemilihan umum itu tidak terkait kisruh pilkada serentak di beberapa wilayah Kabupaten di Kalimantan Barat. Kedatangan kami hanya bersifat personal. Menemui sahabat Mohamad, salah satu anggota BAWASLU yang untuk kedua kalinya minta akad murabahah dilakukan dikantornya.
Kami datang bertiga, di sela-sela istirahat siang. Saya ditemani Manajer Koperasi Syariah Mitra Masyarakat dan staf keuangan kopsah. Kami diterima diruangan kerjanya yang terbilang amat sederhana untuk ukuran kantor perwakilan lembaga negara.
Setelah beberapa menit berbasa-basi, saya menyodorkan surat perjanjian jual beli murabahah untuk pembelian tanah kaveling kami dengan mekanisme kredit. Tanah kaveling tersebut terletak di Desa Mekar Sari, salah satu Desa yang mengalami kemajuan yang amat pesat di Kecamatan Sungai Raya.
Surat perjanjian tersebut ditandatangani oleh saya dan Mohamad diatas materai 6.000. Dibuat dalam dua rangkap, satu untuk arsip kami di kopsah dan yang satunya lagi untuk Mohamad.
"Kok sampai ambil 4 kaveling bang? Mau bangun rumah disana ke?" tanya saya. Angsuran kredit tanah kaveling kami memang terbilang cukup murah untuk ukuran gaji sekelas anggota BAWASLU. Hanya Rp. 175.000 untuk persatu kaveling angsuran per bulan nya.
"Bukan. Kalau saya gak mungkin tinggal disana. Rumah sudah ada. Itu buat anak saya nantinya. Saya belajar dari almarhum ayah saya, yang mewarisi tanah untuk anak-anaknya agar kelak tidak menjadi generasi yang lemah." Terang Mohamad pada kami. Dia bercerita panjang lebar soal tradisi dalam keluarganya yang ia jadikan pegangan dalam hidupnya.
Memang, kalau kita tengok dari beberapa kebiasaan suku bangsa di Indonesia hampir semua suku menekankan akan pentingnya mewarisi tanah untuk masa depan anak cucunya. Seperti halnya Mohamad yang masih memegang kebiasaan dan adat istiadatnya sebagai suku Madura.
Kebiasaan orang Madura mewarisi tanah untuk anak keturunan nya bukan sekedar untuk memperkaya diri, tapi lebih untuk menjaga anak keturunan nya supaya pandai dalam bercocok tanam dan punya cita-cita untuk memakmurkan bangsa dan negaranya. Semangat ini bisa kita lihat dari lagu Pajjer Laggu dalam masyarakat Madura.
Dalam agama Islam sendiri, orang tua dituntut untuk bekerja keras menyiapkan jalan penghidupan yang layak bagi generasi penerusnya. Ini maksudnya bahwa orang tua harus berusaha secara maksimal agar dapat menjamin keberlangsungan hidup anak-anaknya (Dzurriyatan Thoyyibatan). Jangan sampai orang tua meninggalkan anak keturunan yang lemah (dzurriyatan dhia’fan ).
Nabi Muhammad SAW, pernah melarang sahabatnya yang kaya untuk menyedekahkan dua pertiga dari hartanya. Sebagaimana dikisahkan dalam hadits Shahih Bukhari Muslim.
Dikisahkan bahwa Saad Bin Abi Waqqas yang kaya dan dermawan sedang sakit keras. Ia ingin mewasiatkan seluruh hartanya bagi kemaslahatan umat. Rasulullah SAW melarangnya. Saad pun berniat mewasiatkan separohnya. Itu pun tetap dilarang Rasulullah SAW.
"Wahai rasul aku adalah orang yang kaya dan tidak mempunya ahli waris kecuali seorang anak perempuan, bolehkah aku bersedekah dengan du pertiga hartaku? Pinta Saad bin Abi Waqqas.
Rasul menjawab: Jangan.
Saad berkata: Separuhnya?
Rasul menjawab: Jangan.
Saad berkata lagi: Sepertiga ya Rasul?
Rasul menjawab: Sepertiga sudah banyak. Sesungguhnya bagimu akan lebih baik meninggalkan pewarismu kaya dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta belas kasihan kepada orang lain."
Demikian, jangan sampai seorang muslim meninggalkan generasi yang lemah, yakni lemah ekonomi, apalagi lemah iman (akidah). Semoga
Pontianak, 25 Januari 2016