Oleh : Abdul Hamid, SE*)
Usia anak kami, Wirda Himmatul Ulya kini sudah memasuki usia yang ke 13 bulan. Dia Lahir tepat di hari kemerdekaan Republik Indonesia. Hari Minggu Tanggal 17 Agustus tahun 2014. Semenjak ulang tahun pertamanya, Wirda sudah bisa berdiri tanpa berpegangan, namun masih belum bisa berjalan. kedua kakinya masih kaku untuk melangkah. Setiap pagi saya dan bunda nya bergiliran melatih Wirda berjalan dengan berpegangan pada kedua tangan kami.
Baru kemarin, dia bisa berjalan tanpa berpegangan. Mula-mula jatuh dalam setiap kali melangkah. Namun kami selalu menyemangati agar terus melangkah meskipun seringkali jatuh berulang kali.
"Alhamdulilah Wirda sudah bisa Jalan. Laggu' Je' Kaloppaeh Slametih Kocor Met (Besok jangan lupa selametan cucur Met)." Kata Mama saya, Dia sangat senang melihat perkembangan Wirda yang sudah bisa berjalan.
Ke-esokan harinya, mama saya sudah sibuk mencari penjual Kocor di Pasar Pancasila. Sampai dua kali menghampiri penjual kocor langganannnya. Namun si penjual belum juga datang.
"Kemana sih kok juga belum datang. Jualan, tapi jam segini kok belum buka" Katanya dengan nada agak sedikit kesal.
Ya, mungkin karena terlalu pagi ma."
Hari memang masih terang-terang tanah, Matahari belum bersinar terang. Tapi karena perasaan mama terlalu bersemangat, jadi berangkat ke pasarnya terlalu pagi. Pedagang pasar masih banyak yang belum datang. Biasanya, hanya para penjual sayur yang sudah siap melayani para pembelinya. Rata-rata para penjual sayur itu adalah orang-orang Madura yang dulu menjadi korban kerusuhan di Sanggau. Mereka sudah terbiasa bangun pagi, karena mereka dahulunya di Sanggau adalah bertani.
Saya dan isteri memang sudah berniat mau membeli cucur di Pasar Pancasila untuk selamatan Wirda. Tapi keinginan neneknya (mama saya) sudah berinisiatif duluan. Mungkin mama saya takut, kami teledor/lalai terhadap tradisi leluhur kami.
Benar kata orang, Orang yang lahir di zaman dulu sangat berpegang teguh dengan tradisi. Kasih sayang merekapun terhadap cucunya lebih besar ketimbang kasih sayang ibu dan bapaknya. Saya membenarkan ucapan ini karena semenjak Wirda lahir, perhatian neneknya lebih besar pada Wirda saya. Setiap kali pulang dari bekerja, Wirda tidak pernah lepas dari gendongan neneknya.
Setelah datang dari pasar membeli cucur, mama saya langsung menyiapkan Aeng Komkoman (air kembang di dalam mangkuk), tajhin (bubur) tujuh piring, Jejen Racok Petto' (kue jajajan pasar sebanyak tujuh macam), dan cucor yang di tusuk pada lidi setinggi badan Wirda.
Perihal membuat cucur sebetulnya tidak rumit, Apalagi nenek saya dulu penjual cucur kalau ada moment remoh (semacam arisan kaum blater di Madura). Bahan-bahan nya pun cukup gampang karena hanya terdiri dari Tepung beras, Tepung terigu, Air, Gula merah, Gula pasir, Daun pandan, Santan, Minyak Goreng dan Garam secukupnya. Namun sekarang orang lebih pilih instan dengan membeli. Tanpa harus bersusah payah karena banyak di jual di pasar.
Tradisi Selamatan Kocor terbilang cukup sederhana. Kami cukup mengundang tetangga terdekat dan tentu saja seorang kiai atau orang yang pandai membaca doa. Adapun sesajian seperti Aeng Komkoman, tajhin, Jejen Racok Petto' dan cucor yang di tusuk pada lidi setinggi badan anak saya di letakkan di depan orang yang membaca doa. Doa yang biasa dibaca adalah doa selamat.
Setelah pembacaan doa selesai. Tajhin, Jejen Racok Petto' dan kocor di berikan kepada kiai dan undangan yang hadir. Sedangkan Aeng Komkoman dimandikan kepada anak saya. Harapannya, agar anak saya kokoh dan berjalan di jalan yang lurus (jalan kebaikan) sebab keberkahan dari air yang sudah didoakan tersebut.
Usia anak kami, Wirda Himmatul Ulya kini sudah memasuki usia yang ke 13 bulan. Dia Lahir tepat di hari kemerdekaan Republik Indonesia. Hari Minggu Tanggal 17 Agustus tahun 2014. Semenjak ulang tahun pertamanya, Wirda sudah bisa berdiri tanpa berpegangan, namun masih belum bisa berjalan. kedua kakinya masih kaku untuk melangkah. Setiap pagi saya dan bunda nya bergiliran melatih Wirda berjalan dengan berpegangan pada kedua tangan kami.
Baru kemarin, dia bisa berjalan tanpa berpegangan. Mula-mula jatuh dalam setiap kali melangkah. Namun kami selalu menyemangati agar terus melangkah meskipun seringkali jatuh berulang kali.
"Alhamdulilah Wirda sudah bisa Jalan. Laggu' Je' Kaloppaeh Slametih Kocor Met (Besok jangan lupa selametan cucur Met)." Kata Mama saya, Dia sangat senang melihat perkembangan Wirda yang sudah bisa berjalan.
Ke-esokan harinya, mama saya sudah sibuk mencari penjual Kocor di Pasar Pancasila. Sampai dua kali menghampiri penjual kocor langganannnya. Namun si penjual belum juga datang.
"Kemana sih kok juga belum datang. Jualan, tapi jam segini kok belum buka" Katanya dengan nada agak sedikit kesal.
Ya, mungkin karena terlalu pagi ma."
Hari memang masih terang-terang tanah, Matahari belum bersinar terang. Tapi karena perasaan mama terlalu bersemangat, jadi berangkat ke pasarnya terlalu pagi. Pedagang pasar masih banyak yang belum datang. Biasanya, hanya para penjual sayur yang sudah siap melayani para pembelinya. Rata-rata para penjual sayur itu adalah orang-orang Madura yang dulu menjadi korban kerusuhan di Sanggau. Mereka sudah terbiasa bangun pagi, karena mereka dahulunya di Sanggau adalah bertani.
Saya dan isteri memang sudah berniat mau membeli cucur di Pasar Pancasila untuk selamatan Wirda. Tapi keinginan neneknya (mama saya) sudah berinisiatif duluan. Mungkin mama saya takut, kami teledor/lalai terhadap tradisi leluhur kami.
Benar kata orang, Orang yang lahir di zaman dulu sangat berpegang teguh dengan tradisi. Kasih sayang merekapun terhadap cucunya lebih besar ketimbang kasih sayang ibu dan bapaknya. Saya membenarkan ucapan ini karena semenjak Wirda lahir, perhatian neneknya lebih besar pada Wirda saya. Setiap kali pulang dari bekerja, Wirda tidak pernah lepas dari gendongan neneknya.
Setelah datang dari pasar membeli cucur, mama saya langsung menyiapkan Aeng Komkoman (air kembang di dalam mangkuk), tajhin (bubur) tujuh piring, Jejen Racok Petto' (kue jajajan pasar sebanyak tujuh macam), dan cucor yang di tusuk pada lidi setinggi badan Wirda.
Perihal membuat cucur sebetulnya tidak rumit, Apalagi nenek saya dulu penjual cucur kalau ada moment remoh (semacam arisan kaum blater di Madura). Bahan-bahan nya pun cukup gampang karena hanya terdiri dari Tepung beras, Tepung terigu, Air, Gula merah, Gula pasir, Daun pandan, Santan, Minyak Goreng dan Garam secukupnya. Namun sekarang orang lebih pilih instan dengan membeli. Tanpa harus bersusah payah karena banyak di jual di pasar.
Tradisi Selamatan Kocor terbilang cukup sederhana. Kami cukup mengundang tetangga terdekat dan tentu saja seorang kiai atau orang yang pandai membaca doa. Adapun sesajian seperti Aeng Komkoman, tajhin, Jejen Racok Petto' dan cucor yang di tusuk pada lidi setinggi badan anak saya di letakkan di depan orang yang membaca doa. Doa yang biasa dibaca adalah doa selamat.
Setelah pembacaan doa selesai. Tajhin, Jejen Racok Petto' dan kocor di berikan kepada kiai dan undangan yang hadir. Sedangkan Aeng Komkoman dimandikan kepada anak saya. Harapannya, agar anak saya kokoh dan berjalan di jalan yang lurus (jalan kebaikan) sebab keberkahan dari air yang sudah didoakan tersebut.