Tradisi Malem Selekoran di salah satu masjid, di Pontianak Timur |
Puasa ramadan sudah memasuki hari ke 20. Butik, toko baju dan Pasar sudah mulai dipadati oleh orang-orang yang hendak berbelanja pakaian baru di hari lebaran. Supermarket dan Mall terus memperpanjang jam operasionalnya demi menarik pengunjung berbelanja. Di sepuluh akhir ramadan, pasar dan mall seperti sedang berebut simpati orang-orang yang mendapatkan Tunjungan Hari Raya (THR) idul fitri. Cuci gudang, hingga hingga diskon besar-besaran ditawarkan kepada orang yang sedang dalam 'pengaruh' impulsive buying. Pasar menggeliat sedangkan masjid dan surau mulai sepi.
Barisan shaf sholat fardu dan sholat tarawih semakin berkurang. Jika pada awal ramadan, masjid dan surau penuh oleh jamaah terutama anak-anak dan remaja. Menjelang akhir ramadan, hanya beberapa orang lansia yang masih setia bertahan. Kehidupan di perkotaan memang tidak pernah lepas dari jeratan hedonisme dan konsumerisme. Apalagi, Kota Pontianak saat ini sedang menata dirinya menjadi kota Metropolitan.
Ditengah-tengah serbuan arus modernisasi, masih ada beberapa kelompok masyarakat yang masih terus menjaga tradisi leluhur mereka. Salah satunya adalah masyarakat Madura yang tinggal di Kota Pontianak, yang masih melestarikan tradisi malem selekoran (malam selikuran dalam tradisi orang Jawa) atau malam ke dua puluh satu di bulan ramadan. Tradisi ini hampir kita jumpai di rumah-rumah orang Madura yang tersebar hampir di semua kecamatan kota Pontianak.
Di Kelurahan Sungai Jawi misalnya, tempat tinggal saya dan beberapa rumah orang Madura lainnya. Tradisi malem selekoran hampir sama dengan tradisi malem selekoran di Pulau Madura. Pagi-pagi kaum perempuan sudah disibukkan dengan berbelanja daging ayam di pasar-pasar tradisional. Daging ayam masih menjadi menu utama hampir pada setiap tradisi orang-orang Madura.
Biasanya, setelah ayam dicabuti bulunya. Ayam di panggang terlebih dahulu. Setelah itu daging ayam diolah sesuai dengan keinginan sang tuan rumah. Ada yang di masak dengan bumbu opor ayam, ayam kuah santan, hingga ayam bumbu kari.
Sore harinya, ketika menjelang berbuka puasa. Kaum ibu-ibu kembali berperan menghantar makanan yang sudah dimasak. Umumnya makanan berupa lauk, sayur dan nasi disajikan diatas nampan (lorang Madura menyebutnya Lengser). Makanan tersebut diantar dari rumah ke rumah (terater), masjid, ataupun mushola yang menjadi tempat pelaksanaan orang melakukan ibadah tarawih dan tadarus al-qur'an.
Hampir tidak ada orang yang tidak bersedekah di malam selekoran. Orang yang semestinya mendapat pemberian (miskin), tetap berupaya untuk memberi sedekah kepada para tetangganya. Malam ke dua puluh satu di bulan ramadan menjadi malam yang istimewa bagi orang Madura. Mereka seolah berlomba-lomba mendapatkan malam kemuliaan (malam Lailatul Qadar), yang dalam al Qur'an disebutkan sebagai malam seribu bulan.
Tradisi malem selekoran memang tidak terlepas dari ajaran agama Islam yang mengisyaratkan datangnya malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir ramadan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam sebuah hadits yang sahih Riwayat Imam Bukhari, Nabi Muhammad SAW berkata :
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.”
Tradisi malem selekoran adalah tradisi budaya yang memiliki makna religius. Lewat tradisi tersebut orang Madura berharap dianugerahi keberkahan oleh Allah untuk mendapatkan Malam Lailatul Qadar. Memperoleh kemuliaan yang berlipat ganda. Karena nilai Ibadah yang dilakukan pada malam Qadar, nilainya lebih baik dari ibadah selama 1000 bulan atau kurang lebih 83 tahun.
Pontianak, 21 Ramadan 1436 H