TRADISI ALALABET - INSPIRASI SYARIAH

Rabu, 07 September 2016

TRADISI ALALABET

TRADISI ALALABET

Oleh : Abdul Hamid, SE*)
Suatu ciri khas Masyarakat Madura dalam menghadapi keluarga yang berduka cita adalah dengan Alalabet. Alalabet atau dalam bahasa Indonesia nya disebut bertakziyah dengan membawa bawaan untuk diberikan kepada keluarga almarhum, dengan harapan dapat membantu meringankan beban penderitaan keluarga yang sedang berduka cita. 

Bentuk bawaan (benghiben) bisa berupa beras, gula pasir, uang dan jenis sembako yang lain yang diperlukan oleh keluarga orang yang meninggal. Uniknya tradisi alalabet hanya dilakukan oleh ibu-ibu atau kaum perempuan. Adapun kaum laki-laki bertakziyah dengan cara membantu mengurus penguburan si mayit mulai dari menggali kubur, mengangkut air, mengkafani, menguburkan si mayit  hingga kegiatan lain yang berkaitan dengan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kaum laki-laki.

Disamping bertakziyah, kaum perempuan juga membantu urusan pekerjaan dapur keluarga almarhum dengan mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan kepada para pelayat. Tanpa sebuah instruksi, kaum perempuan Madura pandai dalam membagi tugas pekerjaan di dapur. Ada yang bertugas memasak, membuat bumbu, mengambil air, mencuci piring hingga mengantarkan minuman dan makanan kepada para pelayat. Keluarga orang yang meninggal cukup duduk menerima tamu pelayat. 
Bagi masyarakat Madura, alalabet tidak hanya pada saat kematian saja. Tapi berlangsung selama 7 hari dan selamatan berikutnya, seperti pada saat selamatan 40 hari, 100 hari, 1 tahun (haul) hingga pada puncaknya selamatan 1.000 hari (nyebuh). Mereka akan datang alalabet tanpa perlu diundang terlebih dahulu, cukup hanya mendengar bahwa ada keluarga yang sedang mengadakan selamatan kematian, mereka akan datang dengan suka rela. 

Alalabet meski tidak wajib secara syariat, namun "wajib" dalam norma sosial. Perempuan yang tidak pergi alalabet akan memiliki beban moral, karena dianggap tidak peka terhadap orang yang terkena musibah. Disamping itu, mereka akan dicap sebagai perempuan yang tak tahu tengka. Tèngka merupakan norma yang tidak ada sekolahnya. Hanya bisa dipelajari langsung dari praktek dalam masyarakat Madura. Dan orang atau keluarga yang prilaku atau tindakannya tidak sesuai dengan masyarakat, dianggap tidak tahu tèngka.

Tradisi alalabet sendiri merupakan akulturasi antara nilai-nilai dalam masyarakat Madura dengan nilai-nilai dalam agama Islam. Tradisi ini sarat dengan berbagai nilai-nilai, diantaranya : 
Nilai Tolong Menolong
Orang yang datang alalabet datang dengan suka rela, tanpa perhitungan akan dapat imbalan. Menolong orang yang mendapat musibah merupakan amal perbuatan baik semua manusia. Dasar daripada tolong menolong adalah anjuran dari agama Islam dan semua agama. Masyarakat Madura yang dalam kesehariannya senantiasa menjaga kebersamaan tidak merasa terganggu dengan pekerjaan mereka. Mereka akan rela meninggalkan pekerjaan nya sementara tanpa mempertimbangkan keuntungan materi. Mereka percaya, kelak jika terkena musibah, Orang lain pasti datang membantunya tanpa perlu dimiminta.

Nilai Sedekah 
Orang yang pergi alalabet dengan membawa sembako, merupakan wujud sedekah terhadap orang yang sedang berduka cita. Barang bawaan seperti beras, gula pasir, uang dan bahan sembako yang lain sangat membantu meringankan beban keluarga si mayit. 

Nilai persaudaraan (ukhuwah)
Alalabet merupakan ajang berkumpulnya sekelompok orang untuk berdoa bersama. Tradisi ini dapat memupuk silaturahim. Biasanya, suatu keluarga yang dalam kehidupan sehari-hari mereka jarang bertemu akan datang berkumpul. Berempati terhadap orang ataupun keluarga yang sedang berduka.   

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

Berkomentar sesuai dengan topik, gunakan Name dan URL jika ingin meninggalkan jejak, link hidup dalam komentar dilarang, melanggar kami hapus