TAJHIN MIRA POTE
Oleh : Abdul Hamid, SE*)
Setiap kali bulan Safar tiba, kenangan lama di tanah kelahiran pulau Madura selalu menggelayut. Nuansa pulau Madura seakan pindah ke tanah rantau, Kota Pontianak.
Oleh : Abdul Hamid, SE*)
Setiap kali bulan Safar tiba, kenangan lama di tanah kelahiran pulau Madura selalu menggelayut. Nuansa pulau Madura seakan pindah ke tanah rantau, Kota Pontianak.
Sudah dua minggu ini, beberapa tetangga kami bertamu ke rumah mengantarkan Tajhin Mira Pote. Ini adalah tradisi orang Madura dalam memaknai bulan safar, atau yang dalam bahasa Maduranya di sebut dengan bulan Sappar. Tradisi berbagi tajhin mira pote seakan tidak lekang oleh waktu, meskipun beberapa generasi orang Madura sudah berganti. Tradisi tajhin mira pote tetap dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur orang Madura yang dijunjung tinggi meskipun orang Madura tinggal di tanah rantau.
Saya sendiri tidak tahu pasti, apa sejarah yang melatar belakangi orang Madura membuat tajhin mira pote? Suatu hari saya pernah menanyakan perihal seluk beluk tradisi ini pada ibu saya. Tidak banyak jawaban yang bisa saya gali lebih mendalam, ibu saya hanya bisa menjawab untuk keselamatan dan tolak bala'. Selebihnya dia hanya menjelaskan tata cara membuat tajhin mira pote dengan rinci kepada isteri saya.
Ibu saya hafal betul tentang bahan baku dan cara mengolahnya, karena seumur hidupnya hampir tidak terlewatkan membuat tajhin mira pote. Melestarikan tajhin mira pote seperti sebuah suatu "kewajiban" bagi orang Madura, sebagaimana tradisi tajhin peddhis pada bulan Muharram, dan tradisi cocoghan pada hari pertama bulan Maulid.
Tajhin Mira Pote |
Tajhin mira pote (bubur merah putih) atau juga dikenal dengan tajhin sappar adalah bubur yang dibuat dengan perpaduan bubur merah (menggunakan bahan baku tepung ketan dengan gula merah) dan bubur putih (menggunakan bahan baku tepung beras dengan santan, ditambahkan garam secukupnya).
Cara membuatnya pun sedikit rumit bila dibandingkan dengan bubur biasa. Mula-mula ketan dan beras di cuci terlebih dahulu sebelum digiling. Setelah berbentuk tepung, tepung beras ketan di bentuk bulat-bulat yang sebelumnya sudah dicampur dengan sedikit air kapur yang sudah direbus terlebih dahulu, dibentuk bulat menyerupai kelereng atau seperti ulat sutra. Sesudah bulatan tepung ketan terbentuk, santan dicampur dengan gula merah yang didihkan. Jika sudah mendidih sekitar kurang lebih 10 menit, masukkan bulatan tepung ketan. Diaduk hingga mengental. Biarkan mendidih kembali sambil diaduk agar tidak menimbulkan kerak di dasar wadah .
Kemudian buat adonan bubur putih dari tepung beras yang sudah di encerkan terlebih dahulu dengan air secukupnya hingga merata. Jika sudah merata, masukkan kedalam panci. Aduk hingga kental menyerupai bubur. Kemudian masukkan air santan. Aduk berulang-ulang hingga masak.
Jika bubur merah putih sudah masak, tuan rumah akan membacakan doa dengan mengundang tetangga terlebih dahulu. Kemudian bubur merah putih dibagikan (diantarkan) kepada tetangga sekitar.
Menurut salah satu budayawan Madura Kalimantan Barat, Subro dalam sebuah tulisan nya Mentradisikan Selamethan. Tujuan diadakan nya tradisi tajhin mira pote adalah untuk menetralkan pengaruh tidak baik pada bulan Shafar yang sebagian orang meyakini sebagai bulan turunnya bencana atau bala’.
Tajhin mira pote pada zaman nya adalah makanan terbaik, mahal dan hanya di makan oleh golongan kaum bangsawan. Hal ini tentu memiliki makna simbolik, bahwa kita dianjurkan untuk bersedakah yang terbaik.
Orang Madura yang mayoritas agama nya beragama islam dan kebanyakan mengenyam pendidikan pondok pesantren meyakini bahwa bencana atau bala’ bisa ditangkal dengan bersedekah. Musibah adakalanya dapat ditebak dan diprediksi kemunculannya, namun adakalanya tidak dapat mampu dilihat dan dan dirasakan dari mana kelak akan muncul. Maka, sedekah yang terbaik yang ditunaikan seseorang akan menghindarkan ia dan keluarganya dari marabahaya.
Tradisi ini tajhin mira pote saat ini tetaplah relevan. Apalagi, ditengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang terkena gonjang-ganjing fitnah dan perpecahan, keberadaan tradisi tajhin mira pote menjadi perekat bagi persaudaraan seiman dan sebangsa. Ketika kain bendera merah putih tak lagi berkobar dalam setiap jiwa warga negara, maka tajhin mira pote menjadi media bagi masyarakat Madura untuk menyatukan rasa.
*) Abdul Hamid, SE : Anggota Departemen Kajian dan Pengembangan Ekonomi IKBM Kalimantan Barat