TRADISI ARABUN - INSPIRASI SYARIAH

Jumat, 05 Januari 2018

TRADISI ARABUN

Tradisi Arabun merupakan tradisi yang saat ini mulai memudar dalam masyarakat Madura karena dianggap banyak bertentangan dengan syariat Islam dan mendekati perilaku kemusyrikan. Jika dahulu Arabun merupakan ritual wajib bagi masyarakat Madura terutama bagi orang tua yang mempunyai bayi yang baru lahir, kini generasi milenal Madura justru mulai mempertanyakan dan menganggap tradisi arabun adalah tradisi yang menyimpang dari syariat Islam. 

Tidak sedikit generasi muda mileneals Madura yang mulai meninggalkan tradisi ini. Disamping tradisi ini dianggap kurang baik bagi kesehatan si bayi, Tradisi ini juga mulai dianggap bertolak belakang dengan ajaran agama. 

Mulai meredupnya tradisi arabun saat ini tidak lepas dari penggunaan media daun bawang yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini disebabkan karena aroma bawang baik bawang merah, bawang putih atau kuras (daun bawang) dapat mengganggu orang lain. Serta malaikat enggan untuk masuk kedalam rumah yang didalamnya terdapat aroma bawang yang menyeruak. Meskipun pendapat ini masih diperdebatkan. Namun dari sisi kesehatan Asap yang mengandung bau bawang yang pekat juga dianggap kurang baik. Selain menyebabkan bayi batuk-batuk juga rentan terhadap penyakit sesak nafas. 

Arabun merupakan tradisi dimana seorang bayi yag baru lahir, diasapi selama beberapa saat diatas sebuah perapian selama tujuh hari setiap menjelang waktu magrib selama 7 hari. Ritual Arabun mula-mula diawali dengan cara membakar serpihan kayu atau arang dalam sebuah wadah hingga meghasilkan bara. Bahan yang dijadikan sebagai wadah biasanya tembikar yang terbuat dari tanah atau wajan bekas yang sudah tidak dipakai lagi. 

Ketika bara sudah terbentuk, maka mulailah ditaburi atau dimasukkan garam dan kulit bawang merah keatas bara api. Dengan dimasukkan nya garam dan daun bawang, maka api akan menghasilkan percikan-percikan disertai letupan-letupan kecil dan kepulan asap yang beraroma daun bawang. Saat itu, si bayi yang baru lahir diasapi beberapa saat, atau diambilkan asapnya untuk dirabunkan keseluruh badan si bayi dan ibunya. Sebagian orang, terutama para sepuh, melakukan hal ini dengan membacakan doa-doa atau mantera-mantera tertentu. 

Arabun umumnya dilakukan di depan halaman rumah saat menjelang adzan magrib. Ritual arabun tentu sangatlah jauh berbeda dengan ritual Sifudu pada masyarakat Afrika. Sifudu sendiri merupakan nama sebuah daun yang akan dibakar agar menghasilkan kepulan asap. Asap itulah yang akan digunakan untuk mengasapi bayi. Jika pada ritual Sifudu, para saudara dan handai taulan berkumpul bersama dan membuat api unggun di tengah-tengah tempat pelaksanaan ritual kemudian bayi dilempar dari atas balkon ke kerumunan orang yang siap menyambutnya dengan bentangan kain. Maka dalam Tradisi arabun cukup si bayi digendong oleh orang tuanya untuk kemudian dilakukan pengasapan.  

Tradisi arabun pada dasarnya bertujuan untuk menghindarkan bayi dari pengaruh pengaruh negatif atau gangguan setan dan jin. Sebagian masyarakat Madura juga masih percaya bahwa orang yang datang dari jauh, atau keluarga yang baru pulang dari perjalanan jauh harus arabun terlebih dahulu ketika hendak menggendong atau bersentuhan dengan si bayi, agar si bayi tidak terkena pengaruh negatif atau roh-roh jahat yang hinggap di sepanjang jalan. Selain menghindarkan dari pengaruh negatif kepulan asap dan percikan dari api dari garam yang ditaburkan dipercaya dapat menghindarkan bayi dari serangan nyamuk dan serangan  binatang serangga yang lain. 
Belangkas, hewan yang lazim digunakan dalam tradisi Arabun

Pada masyarakat Madura yang tinggal di daerah pesisir, arabun tidak hanya menggunakan bara api yang ditaburi garam dan daun bawang tetapi juga ditambahkan potongan-potongan binatang belangkas (atau orang Madura menyebutnya dengan mi imih) yang sudah mati kedalam bara api. Binatang belangkas termasuk hewan yang monogamik, sehingga sering dijadikan simbol kelanggengan pasangan suami istri. Pemberian potongan-potongan belangkas juga dipercaya dapat menghindarkan si bayi dari suara rengekan (tangisan) pada malam hari. 

*) Abdul Hamid, S.E : Devisi Kajian Budaya Madura IKBM KalBar. 



_____________________
[1] Hasil wawancara dengan Munif S Pegiat Budaya & Alumni Lanceng Kubu Raya Tahun 2012 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

Berkomentar sesuai dengan topik, gunakan Name dan URL jika ingin meninggalkan jejak, link hidup dalam komentar dilarang, melanggar kami hapus