Perayaan maulid Nabi Muhammad memiliki arti penting dan istimewa bagi masyarakat Madura di manapun mereka berada tidak terkecuali bagi orang madura yang tinggal di Kalimantan Barat. Maulid Nabi Muhammad atau yang lebih dikenal oleh orang Madura dengan sebutan Molodhan berlangsung selama sebulan penuh.
Perayaan dimulai pada tanggal 1 di bulan Rabiul Awal dimana masyarakat Madura menyambutnya dengan Tradisi Cocoghen. Disebut dengan Cocoghenn karena pada malam tersebut orang madura umumnya mencocokkan penanggalan pertama di bulan Rabiul Awal dalam kalender hijriyah.
Jika pada malam tersebut masuk malam tanggal 1 di bulan rabiul awal, maka orang madura akan datang berbendong-bondong ke masjid atau ke musholla untuk membawa hantaran buah-buahan. Yang kemudian dibacakan Maulid Al-Barzanji.
Tradisi Molodhan dalam masyarakat Madura selalu identik dengan Buah |
Kemudian pada malam tanggal 12 Rabiul Awal, orang Madura merayakan dengan sebutan Malem Dubellesen atau malam dua belasan dalam bahasa Indonesia. Perayaan malam dua belasan umumnya digelar di masjid ataupun mushola secara bersama-sama dengan membawa buah-buahan, aneka kue dan makanan yang kemudian dimakan bersama setelah pembacaan Al-Barzanji.
Tidak berhenti di situ, setelah acara cocoghen dan dua belasan, orang madura melanjutkan dengan molodhan dari rumah ke rumah. Umum nya, orang yang melaksanakan tradisi Molodhan mengundang tetangga, kerabat, maupun keluarga terdekat. Yang diundang hanya kaum laki-laki saja. Adapun kaum wanita hanya membantu mempersiapkan makanan di dapur.
Hidangan yang dihidangkan kepada tamu undangan dalam tradisi Molodhan adalah aneka buah-buahan, kue, dan hidangan makanan nasi. Sebelum pembacaan Albarzanji, aneka buah-buahan yang sudah dihias dan ditusuk dengan lidi yang ujungnya dipasangi lembaran uang, di hidangkan secara berjejer dihadapan para tamu undangan. Perbedaan tradisi Molodhan dengan perayaan Islam lainnya terletak pada buah yang beraneka jenis. Jenis-jenis buah itu, misalnya buah apel, anggur, jeruk, nanas, pepaya, pisang, semangka, lengkeng, kelapa muda, sawo, buah rambutan dan sebagainya. Bergantung pada musim buah pada bulan tersebut. Semua buah yang dijual di pasar hampir kita temukan dalam perayaan tersebut. Aneka buah-buahan dan kue tersebut boleh dibawa pulang setelah selesai pembacaan Al-Barzanji.
Konon, Makna simbolisasi buah dalam tradisi maulid pada masyarakat Madura adalah hasil dari pembacaan shalawat kepada Nabi. Buah adalah apa yang dihasilkan dan diharapkan dari sebatang pohon tertentu. Manusia yang bershalawat harus mampu mengahadirkan “buah sosial” yang berupa kebaikan-kebaikan untuk kebersamaan dan kemanusiaan, sesuai dengan struktur dan peran sosialnya masing-masing. Seorang pemimpin, buah sosialnya adalah menyejahterahkan rakyatnya. Seorang alim adalah mengamalkan dan mengajarkan ilmunya. Seorang kaya adalah kepeduliannya kepada orang miskin dengan mendermakan hartanya.
Tradisi Molodhan memang memiliki nilai tersendiri, selain untuk bergembira menyambut kelahiran Nabi Muhammad. Orang Madura juga meyakini bahwa dengan menggelar Tradisi Molodhan akan membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW serta mengenang jasa Nabi dalam menyampaikan ajaran islam kepada ummatnya.
Kecintaan kepada Rasulullah saw merupakan pantulan dari spektrum padang cinta maha luas terhadap Allah SWT. Suatu bentuk kecintaan struktural esensial yang mesti dijaga keberlangsungannya. Karena hanya dengan demikian tawajjuh cinta akan menggapai nilai suci keabadian yang transendental. Apa yang selama ini menjadi tradisi di kalangan masyarakat Madura, menjadi aneka madah shalawat dan berbagai persembahan lainnya. Inilah salah satu wujud kecintaan dan wahana refleksi pengabdian diri kepada Allah dan RasulNya.
Bagi Masyarakat Madura, Ritual maulid adalah “ibadah muthlaqah” yang memang tidak ditentukan syarat rukunnya secara ketat tetapi dengan memperingati kelahiran Nabi, masyarakat Madura ingin mengajarkan cara "menikmati" rahmat-hidayah Allah melalui syafa’at Rasulullah, bahwa cinta mulia itu akan menghiasi sikap dan perilaku dengan kesantunan, keramahtamahan, kejujuran dan berbagai tindakan terpuji lainnya. Ia akan membawa seseorang pada posisi fitrah kehambaan yang sesungguhnya. Jalinan persaudaraan dengan sesama manusia di rekati oleh nilai-nilai luhur kebersamaaan dan persatuan yang utuh (Ummatan wahidah) sebagaimana yang di gariskan Allah; jauh dari persentuhan perselisihan (menganggap bid’ah) dan kebengisan egoisme parsial yang kini sedang melanda ummat manusia di berbagai panggung kehidupan.
*) Abdul Hamid, S.E