Oleh : Abdul Hamid*)
Awal bulan November tahun 2017, saya berkesempatan mengikuti pelatihan manajemen usaha koperasi simpan pinjam se Kota Pontianak di Aula Dekopinwil Provinsi Kalimantan Barat. Kegiatan pelatihan ini diselenggarakan oleh Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan Kota Pontianak selama 3 hari.
Saat registrasi, saya sempat mengintip daftar peserta undangan kegiatan pelatihan. Ada sekitar 50-an koperasi yang diundang. Rata-rata pengurus dan pengawas. Tidak ada satupun yang saya kenal. Diantara puluhan orang yang hadir dalam ruangan. Saya hanya kenal dengan satu orang saja. Bapak Mustamar, Kasi Bina Koperasi.
Saat sesi Coffe Break, saya duduk satu meja dengan beberapa pengurus koperasi syariah - BMT. Rata-rata sesama mereka sudah saling kenal. saya saja yang asing dalam lingkaran meja bundar itu. Agar tidak merasa asing, saya memperkenalkan diri. Dan obrolan-pun lancar mengalir. Tidak ada rasa canggung dan malu. Mereka bicara terbuka soal isi “dapur” koperasinya.
Ada yang bercerita soal konflik atara pengurus dan pengawas, Ada yang merasa sendirian menjalankan "roda" koperasinya sehingga sudah dua tahun berjalan tidak melaksanakan Rapat Anggota Tahunan, dan menariknya diakhir perbincangan mereka buka suara bahwa diantara mereka tidak ada satupun yang koperasi syariah- BMT nya memiliki Dewan Pengawas Syariah.
Keluh kesah di meja bundar pagi itu seolah membuka tabir bagi saya tentang lemahnya legalitas dan tata kelola koperasi syariah dan BMT saat ini. Pantas, jika koperasi syariah kalah berkompetisi dengan koperasi simpan pinjam Credit Union dalam merebut kepercayaan masyarakat muslim. Ini baru kulit luarnya. Masih soal masalah struktur organisasi. Belum masuk pada “tulang sum-sum keuangannya”.
Tantangan mengelola koperasi syariah cukup besar, untuk koperasi syariah yang sedang berkembang, apalagi baru berdiri, pengurusnya dituntut untuk bekerja ekstra. Selain memainkan diri bertindak sebagai pengurus, seringkali pengurus harus turun tangan melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh manajemen.
Pengawas juga tidak boleh tinggal diam, memang tugas pokoknya adalah melakukan pengawasan atau audit setiap bulan sesuai dengan program pengawasan. Tapi disaat koperasi syariah baru berdiri, dan bertumbuh, Pengawas juga perlu membantu pengurus dan manajemen dalam pencapaian target rekruitmen anggota baru. Misalnya dengan mengajak keluarga terdekatnya untuk bergabung menjadi anggota koperasi syariah.
Lantas bagaimana dengan keberadaan Dewan Pengawas Syariah? Dewan Pengawas Syariah memiliki tugas yang berbeda dengan pengawas. Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan fatwa kehalalan setiap produk simpanan dan produk pembiyaan yang dikeluarkan oleh koperasi syariah. Setiap produk koperasi syariah diawasi oleh dewan pengawas agar sesuai dengan “rambu-rambu” Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Tanggung jawabnya dunia akhirat, karena berkaitan dengan kehalalan bisnis yang dijalankan.
Memang, keharusan bagi koperasi syariah untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah baru dikeluarkan oleh kementerian koperasi diakhir tahun 2015. Sehingga banyak BMT dan koperasi syariah yang berdiri sebelum tahun 2015 tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bersertifikat MUI.
Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/2015 mengharuskan setiap koperasi syariah maupun BMT yang mengajukan permohonan badan hukum diwajibkan untuk memiliki dewan pengawas syariah. Dalam pasal 14 dijelaskan bahwa koperasi syariah yang menyelenggarakan usaha simpan pinjam pembiayaan syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah yang ditetapkan oleh rapat anggota.
Dalam pasal berikutnya dijelaskan bahwa Jumlah dewan pengawas syariah paling sedikit berjumlah dua orang dan memiliki sertifikat DSN-Majelis Ulama Indonesia. Pasal ini yang membuat beberapa koperasi syariah maupun BMT tidak lulus ketika mengajukan permohonan badan hukum. Cukup ribet, tapi dengan keribetan ini justru bisa dinilai bagaimana keuletan dan kesungguhan para insan koperasi syariah?*
Struktur organisasi kopsyah mitra masyarakat |