Oleh : Abdul Hamid*)
Saya setuju dengan pendapat pendiri dan perintis Gerakan Koperasi Kredit Indonesia Robby Tulus, yang mengibaratkan pekerjaan pengawas itu ibarat "dokternya" koperasi. Pengawas berperan sebagai dokter yang mampu mendeteksi apakah koperasi syariah dalam kondisi yang sehat atau sakit.
Biasannya ketika memeriksa pasien, Dokter melakukan diagnosa awal dengan mengukur tekanan darahnya. Dalam praktik koperasi syariah juga begitu. Pengawas melakukan deteksi awal dengan melihat rasio likuiditas koperasi syariah. Jangan sampai lebih apalagi kurang. Kalau lebih, bisa menyebabkan hipertensi. Sebaliknya, kalau kurang akan menyebabkan anemia. Baiknya harus ada pada ukuran yang normal.
Berapa ukuran normal likuiditas koperasi syariah? ukuran normalnya ada pada kisaran minimal 10 % dan maksimal 25 %. Posisi idealnya adalah 20%. Tentu ukuran ini berbeda dengan ukuran perbankan. Posisi 10 % dikatan masih wajar, karena koperasi syariah sumber pendanaanya dari anggota. Bukan investor.
Setelah mendeteksi rasio likuiditas, pengawas juga harus melakukan deteksi rasio pembiyaan bermasalah atau kredit macetnya. Pembiayaan itu adalah "jantungnya" koperasi simpan pinjam pembiayaan syariah. Banyak koperasi syariah dan BMT dibuat tengkurep oleh kasus pembiyaan bermasalah.
Pembiayaan bermasalah tidak boleh melebihi 5 % dari total pinjaman yang beredar. Menekan angka pembiayaan bermasalah agar tidak melebihi 5 % memang sangat susah. Kondisi Koperasi syariah berbeda dengan perbankan. Perbankan memiliki banyak “alat kelengkapan” untuk menekan terjadinya pembiyaan bermasalah. Disamping itu, pemerintah membuat perbankan berada pada posisi yang terlindungi oleh berbagai macam regulasi yang dibuat oleh pemerintah.
Agar angka pembiayaan bermasalah relatif bisa terkendali, maka pengawas mesti melakukan analisa terhadap pembiayaan koperasi syariah. Pengawas mesti mendeteksi segala kemungkinan terjadinya penyebab pembiayaan bermasalah.
Apa penyebab pembiyaan bermasalah? Pertama, Analisa pembiayaan dan pembuatan keputusan pembiayaan yang buruk. Dalam banyak kasus pembiayaan bermasalah di koperasi syariah dan BMT biasanya disebabkan oleh keputusan pembiayaan yang buruk yang dilakukan oleh pengurus maupun manajemen. Misalkan, ada seorang peminjam yang tidak layak untuk diberikan pembiyaan, tapi karena ada hubungan kekerabatan atau karena teman dekat dengan pengurus dan manajemen maka anggota tersebut diloloskan atau dipermudah untuk mendapat pembiyaaan.
Kedua, Penyelidikan berkas atau surat perjanjian pembiayaan yang tidak lengkap. Pengurus atau manajemen menganggap sepele kelengkapan berkas permohonan pembiayaan. Misalkan, tidak bubuhkan materai 6.000 atas pembiayaan diatas satu juta rupiah. Atau penulis pernah menjumpai di salah satu koperasi syariah ada pencairan pembiayaan tanpa ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
Ketiga, Pemberian pembiyaan tanpa penelitian kelayakan analisa 5 C. Banyak koperasi syariah dan BMT yang baru berdiri pengurusnya tidak melakukan skala rating pembiayaan analisa 5 C. Padahal, penilaian pembiayaan penting digunakan guna menentukan kemungkinan seorang calon peminjam mampu atau tidak mengembalikan pinjaman nya.
Kedua diagnosa awal tadi, Yakni likuiditas dan pembiayaan bermasalah adalah pemeriksaan dasar general audit atau audit yang bersifat umum. Tentu, tugas utama dari pengawas adalah memberikan nasihat dan pengawasan kepada pengurus dan manajemen serta melakukan pemeriksaan terhadap pembukuan dan kegiatan yang dilakukan oleh pengurus dan melaporkan hasil pemeriksaan tersebut kepada rapat anggota. Hasil pengawasan tersebut itulah yang akan diberikan tanggapan oleh peserta yang hadir dalam Rapat Anggota Tahunan serta menjadi rekomendasi bagi pengurus untuk melakukan perbaikan kinerjanya.
Apabila pengurus tidak melakukan perbaikan, Pengawas bisa memberikan skorsing. Pengawas punya wewenang untuk memberikan skorsing kepada pengurus yang melakukan tindakan penyelewengan. Skorsing tersebut bisa diberikan apabila pengurus nyata-nyata tidak mau mengoreksi diri.*