UNSUR BUDAYA DALAM MENANGKAL PAHAM RADIKALISME - INSPIRASI SYARIAH

Kamis, 09 Mei 2019

UNSUR BUDAYA DALAM MENANGKAL PAHAM RADIKALISME


Saya memulai diskusi SINAU BUDAYA malam itu dengan humornya KH. Hasyim Muzadi. Mantan Ketua Umum PBNU yang sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua pengurus wilayah NU Jawa Timur. Humor tentang Rokok  Surya  16. Dimana pada suatu ketika beliau memerintahkan staf PW NU Jawa Timur yang bernama Zaini untuk membeli rokok Surya 16. Zaini adalah santri asal Madura yang mengabdi di Kantor PW NU Jatim. Tanpa berpikir lama, berangkatlah Zaini mendatangi toko toko di sekitar Raya Darmo 96. Di toko- toko yang Ia hampiri rokok itu yang ada hanya Surya 12 dan rokok eceran surya . Karena perintahnya Surya 16 akhirnya tanpa penjang pikir ia belikan Surya 12  ditambah eceran 4 batang. Lengkaplah menjadi surya 16 batang. Sesampainya didepan KH. Hasyim Muzadi rokoknya diserahkan oleh staf yang orang Madura itu, sebelumnya diberitahu kalau Surya 16nya kosong, tapi dibeilkan Surya 12 ditambah 4 batang eceran. Mendengar jawaban itu KH Hasyim Muzadi tertawa lepas sambil berkata "Wah aku saiki kalah karo Madura (Kerena yang disuruh beli orang Madura) tetapi dengan arifnya beliau mengatakan "Iya memang tidak salah kerena saya yang minta Surya 16.
Dalam humor diatas, kita mendapatkan gambaran bagaimana Zaini, orang Madura yang berpikir radikal. Berpikir layaknya seorang filusuf. Berpikir radikal artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan. Berpikir terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung. Sepintas memang terkesan menggelitik. Tapi mendalam.
Dalam keseharian, orang Madura memang cenderung berpikir radikal. Tapi bukan berarti orang Madura penganut paham radikalisme apalagi yang mengarah pada tindakan ekstrim. Tidak ada dalam budaya Madura. Sebab bertindak ekstrim tidak sesuai dengan saloka orang Madura yang berbunyi Bila Cempa palotan Bila kanca Taretan [Kalau teman adalah saudara].
Sebagaimana kita ketahui pula bahwa orang Madura sangat patuh terhadap Guru, Orang Tua serta Raja atau Penguasa. Ajaran Bhuppa’ Bhâbbhu’ Ghuru Rato Menjadikan Orang Madura Patuh Pada orang tua-Bhuppa’ Bhâbbhu’, Guru -Ghuru serta Pemimpin atau penguasa-Rato.
Dalam masyarakat Madura, kepatuhan anak terhadap orang sangat mutlak. Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas. Seorang anak akan dicap sebagai anak yang durhaka apabila tidak patuh terhadap orang tuanya. Kepatuhan orang Madura kepada orang tuanya bisa kita lihat misalnya dalam pemilihan pendidikan. Anak-anak Madura kebanyakan mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren. Pemilihan pendidikan di pondok pesantren tidak terlepas dari pengaruh orang tuanya yang cenderung memaksakan anaknya untuk memondokkan ketika sang anak sudah lulus sekolah dasar.
Tidak sedikit anak-anak Madura yang memang terkesan dipaksakan untuk masuk pesantren. Menurut para orang tua, pendidikan di pesantren adalah pendidikan terbaik. Karena di pesantren seorang anak bisa belajar mandiri dan mendapatkan pendidikan agama. Pendidikan yang diyakini menjadi fondasi dasar dalam pembentukan karakter Manusia Madura.
Jika anak-anak Madura sudah mengeyam pendidikan di pondok pesantren, maka tidak usah kita ragukan lagi bagaimana tingkat kepatuhan mereka kepada guru-Ghuru? Guru atau kiai adalah sosok yang sangat dimuliakan dalam kehidupan orang Madura. Ketaatan kepada guru atau kepada kiai tidak terlepas dari penerapan kurikulum pendidikan di pondok pesantren yang mengajarkan ilmu akhlak sebagai ilmu dasar.
Paling utamanya ilmu adalah ilmu akhlak. Pengajaran kitab Ta'limul Muta'allim menjadikan anak-anak orang Madura mengerti tentang berahklak yang baik. Orang Madura cenderung tidak terpengaruh terhadap paham-paham radikalisme selama tradisi pendidikan dipondok pesantren masih mengajarkan pendidikan akhlak.
Lalu bagaimana dengan kepatuhan orang Madura terhadap figur pemimpin -Rato?  Pemimpin atau rato mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan orang Madura. Agar dipatuhi, seorang pemimpin bagi orang Madura harus berwibawa. Bersikap Andap Asor- Tidak bersikap atau berperilaku arogan (congkak), otoriter, bertindak semena-mena, atau tidak menghargai orang lain.
Oleh : Abdul Hamid*)
Penulis Buku Khazanah Budaya Madura Kalimantan Barat

Tulisan ini disampaikan dalam acara diskusi Sinau Budaya dengan Tema : Budaya Lokal Tangkal Paham Radikalisme. Jumat 12 April 2019

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

Berkomentar sesuai dengan topik, gunakan Name dan URL jika ingin meninggalkan jejak, link hidup dalam komentar dilarang, melanggar kami hapus