Oleh : Abdul Hamid*)
Lebaran tahun ini sapi madura kembali menjadi persembahan hewan kurban presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Meskipun jumlahnya tidak sefantastis tiga tahun sebelumnya yang mencapai 20 ekor. Dimana saat lebaran Idul Adha tahun 2014 Jokowi berkurban sebanyak 20 ekor sapi jenis lokal Madura yang nilainya seharga 400 juta.
Tahun berikutnya, Yakni di lebaran Idul Adha tahun 2015 presiden asal Solo itu kembali mempersembahkan hewan kurban sapi lokal Madura sebanyak 19 ekor dengan total nilai harganya 380 juta. Berkurang satu ekor dari tahun sebelumnya.
Sapi Madura sempat menghilang dari daftar persembahan hewan kurban presiden Jokowi di tahun 2016 dan tahun 2017. Di dua tahun itu, sang presiden lebih memilih jenis sapi Peranakan Ongole. Dan pada lebaran Idul Adha tahun 2018 ini presiden hanya mempersembahkan 1 sapi lokal Madura yang nilainya seharga 20 juta. Selebihnya sapi Peranakan Ongole.
Persembahan jenis hewan sapi kurban presiden di Indonesia memang sering tidak luput dari liputan awak media, hal ini agar publik bisa mengetahui sejauh mana komitmen pemerintah dalam meningkatkan swasembada daging sapi yang targetnya terus tidak pernah tercapai.
Impor sapi terus membanjiri Indonesia terutama menjelang lebaran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang bulan januari sampai februari 2018 Indonesia telah mengimpor daging sapi sebanyak 15.046 ton. Jumlah ini terus bertambah hingga menjelang akhir tahun 2018.
Nawacita presiden Jokowi untuk berhenti melakukan impor, terutama impor daging tinggal janji saja. Tahun ini sudah memasuki masa kampanye pilpres. Janji itu tak kunjung ditunaikan. Persoalan impor daging sapi memang menjadi “lahan basah” bagi importir untuk meraup keuntungan.
Peternak sapi lokal makin tak berdaya, jika kran impor sapi tidak dihentikan oleh pemerintah. Namun disisi lain kebutuhan akan daging sapi potong semakin hari semakin meningkat. Disinilah celah itu dimainkan oleh para pengusaha.
Persoalan Defisit sapi potong di Indonesia pada dasarnya bukan karena rakyat di negeri ini tidak mampu beternak sapi. Tapi karena rakyat ekonominya makin tak berdaya. Rakyat butuh “kehadiran” pemerintah baik dari sisi permodalan maupun dukungan fasilitas terhadap peternakan sapi rakyat.
Potensi swasembada daging itu ada. Sebuah hasil penelitian tentang potensi sapi lokal pernah diungkap oleh salah seorang Doktor dari Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada (UGM). Potensi tetang sapi lokal madura yang nilai natural increase sebesar 61,94 persen. Besaran potensi itu hanya untuk wilayah Kabupaten Pamekasan saja, belum mencakup pulau Madura secara keseluruhan. Juga belum mencakup potensi peternak sapi orang Madura yang di pulau Kalimantan, yang kalau urusan peternakan sapi juga punya keahlian dan keuletan yang sama dengan saudaranya di pulau Madura.
Keterangan foto : diambil dari Internet |
Sebelum konflik sosial tahun 1997 dan konflik sosial tahun 1999, orang Madura di Kalimantan Barat banyak menggantungkan hidupnya dengan beternak sapi. Meski hanya sebagai usaha sambilan dan belum menjadi usaha prioritas. Usaha prioritas orang Madura di Kalimantan Barat banyak bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan karet.
Meskipun demikian, orang Madura sebetulnya ahli dalam merawat sapi. “Kedekatan” orang Madura dengan sapi memang memiliki sejarah tersendiri. Kehidupan masyarakat Madura tidak bisa dipisahkan dari keberadaan sapi Madura karena sapi Madura memiliki nilai kultural dan historis tinggi, sekaligus menjadi tabungan keluarga.
Sapi Madura sendiri merupakan salah satu rumpun sapi lokal Indonesia. Sapi ini memiliki beberapa ciri seperti warna tubuh cokelat muda sampai cokelat tua, kuku dan moncong berwarna hitam, memiliki rambut rambut halus di sekitar mulut, dan kaki yang cukup panjang (Payne & Rollinson 1976; Setiadi & Diwyanto 1997).
Sapi madura merupakan hasil persilangan antara banteng (Bos javanicus) dengan sapi ongole (Nijman et al. 2003; Uggla 2008; Febriana et al. 2015). Awal persilangan ini terjadi saat orangorang dari sub-continent India sampai di Indonesia sekitar 1.500 tahun yang lalu (Payne & Rollinson 1976). Sapi Madura mulanya berkembang di Pulau Sepudi lalu masuk ke Pulau Madura dan hanya ditemukan di Pulau Madura, kemudian menyebar ke Pulau Jawa bagian timur dan Kalimantan (Firdhausi 2010).
Di Kota Pontianak, sapi Madura mudah dijumpai di tempat karantina hewan di pinggiran sungai Kapuas. Sapi sapi tersebut umumnya didatangkan dari pulau madura menggunakan Kapal Motor. Sebelum masuk masuk kamar potong, Sapi Madura umumnya dipelihara dulu selama beberapa bulan. Baru kemudian di jual ke pengusaha pemotongan sapi.
Peternakan sapi Madura di Kalimantan Barat sangat potensial jika dikembangkan. Lahan Kalimantan Barat yang masih sangat luas memudahkan bagi para peternak sapi untuk mencari rumput, atau memungkinkan jika sapi-sapi tersebut dicarikan lahan yang luas kemudian digembalakan. Persis dengan pola yang dilakukan orang Madura di pulau Sapudi Kabupeten Sumenep.
Pasar juga terbuka lebar untuk bisnis pemotongan sapi di Pontianak. Dari tahun ke tahun data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat menunjukkan bahwa kebutuhan atau kekurangan daging sapi masih di suplai dari luar pulau Kalimantan. Tinggal pemerintah daerah mau atau tidak memberdayakan masyarakatnya, terutama masyarakat Madura yang memiliki kearifan lokal dalam beternak sapi.
Sungai Ambawang, Oktober 2018