Oleh : Abdul Hamid *)
Komoditas jagung sempat menjadi perbincangan publik diawal tahun 2020. Tepatnya diawal bulan Februari. Tentang rencana impor jagung yang 200 ribu ton itu. Yang mendapat banyak kritik dari kalangan akademisi, karena pemerintahan Jokowi gagal menunaikan janjinya. Janji sawasembada pangan, yang tak kunjung ditunaikan. Tapi berita kegagalan swasembada pangan ini kemudian tenggelam oleh Covid-19. Berita tentang Covid-19 di media lokal dan nasional lebih mendominasi. Berita komoditas jagung tenggelam.
Apalagi berita tentang Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB) makin santer. Tidak hanya di Jakarta, bahkan kabarnya Kota Pontianak juga akan melakukan PSBB. Beberapa pekan terakhir dibulan April kita juga mendapat kabar kalau Bandara Internasional Supadio Pontianak resmi di tutup. Mulai dari tanggal 25 April hingga 31 Mei 2020. Kabar kepastian penutupan itu disampaikan oleh Executive General Manager Bandara Supadio. Eri Braliantoro.
Sebelum melakukan penutupan bandara, sejumlah pintu perbatasan di Kalimantan Barat yang menghubungkan kalbar dengan dengan Serawak Malaysia sudah resmi ditutup terlebih dahulu. Sejak akhir bulan maret kemarin.
Penutupan pos lintas batas negara dan bandara di Kalbar adalah sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona atau Covid-19. Yang tingkat penyebaran nya makin hari makin meningkat. Meskipun peningkatannya tidak sederastis DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Pemerintah Kalbar memang harus cermat menghadapi ganasnya virus Covid-19. Karena selain mengancam kesehatan manusia, Covid-19 juga bisa mengancam ketersediaan pangan kita. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga sudah mengeluarkan peringatan bencana kelaparan. Bencana kelaparan dalam skala besar diperkirakan akan meladanda seluruh dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Khususnya Kalimantan Barat?
Ancaman kelaparan itu bisa saja terjadi. Kalau kita tidak mempersiapkan diri. Apalagi, anjuran pemerintah dalam menghadapi Covid-19 hanya menyuruh kita untuk diam dirumah saja.
Diam di rumah saja bukanlah satu-satunya solusi melawan Covid-19. Malah akan menambah masalah baru. Terutama bagi masyarakat miskin perkotaan. Yang hari-harinya harus diisi dengan bekerja. Sebab jika berhenti bekerja, urusan makan tidak bisa di-cover oleh negara. APBN kita juga tidak surplus. Malah terus mengalami defisit. Jadi APBN kita terbatas untuk mengurusi urusan jutaan masyarakat miskin Indonesia. Untuk negara setingkat Asia, kita belum sekuat Jepang dan Korea Selatan. Yang bisa menerapkan lockdown berbulan bulan.
Didepan mata, ancaman terhadap kelaparan lebih serius daripada ancaman Covid-19. Sebab masyarakat miskin perkotaan tidak punya lahan untuk bercocok tanam. Kalaupun masyarakat diajak untuk urban farming, fasilitas pendukungnya masih belum memadai. Sementara urusan lapar tidak bisa ditahan.
Kita mengandalkan ketahanan pangan kepada para petani yang tinggal di desa-desa. Yang urusan kesejahteraan nya sering dianaktirikan. Namun mereka masih setia untuk bercocok tanam. Menjadi petani. Sementara hasil cocok tanamnya belum kita hargai dengan layak.
Dikampung Madani, harga komoditas hasil pertanian sangat murah. Komoditas jagung misalnya, harganya cuma 5.000 per kilogram. Harga komoditas jagung memang tidak setara dengan beras, sebab jika harga komoditas jagung naik para peternak ayam broiler akan menjerit. Jagung tidak lagi menjadi makanan pokok, tetapi sudah berubah menjadi pakan ayam broiler. Kementerian Pertanian belum menemukan solusi tentang harga komoditas jagung ini. Padahal sudah bertahun-tahun terjadi.
Tak heran jika para petani sudah mulai jarang menanam jagung, sebab tidak sebanding dengan jerih payahnya saat mulai masa tanam hingga masa panen. Namun petani di kampung Madani masih tetap menanam jagung. Sebab dilahan tanah gambut, tanaman padi meskipun bisa tumbuh tapi kurang subur. Orang lebih mengandalkan tanaman jagung, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini. Tidak ada lahan tanah gambut yang "menganggur".
Keterangan Foto : Pertanian jagung di lahan gambut Madani |
Lahan pertanian tanah gambut meningkat produktif. Masyarakat di kampung Madani sedang mempersiapkan diri. Berjaga-jaga, kalau krisis pangan itu benar- benar terjadi. Mereka siap untuk menghadapinya.
Untuk urusan ketahanan pangan, Mental masyarakat di kampung Madani memang sudah terbangun. Relokasi atas kerusuhan sosial 1999, menjadi pelajaran penting bagi mereka. Hutan belantara disulap menjadi pemukiman dan pertanian yang produktif.
Semua komoditas pertanian bisa hidup. Sagu, Padi, ketela, singkong dan umbi-umbian lain mudah dijumpai. Apalagi komoditas jagung, yang memang sudah menjadi budaya pangan mereka. Makanan pokok orang Madura.
Orang Madura sudah terbiasa dengan makan nasi jagung. Nasi jagung dibuat dengan sederhana. Bahan utamanya jagung tua atau pipil, lalu dicampur dengan sedikit beras atau dalam komposisi lebih banyak beras disebut dengan Nase' Malto'. Disebut dengan Nase' Malto' karena jagungnya To' Malto'. Yang dalam bahasa Indonesianya jagung nya sedikit- sedikit.
Tambahan jagung pada nasi beras akan membuat nasi lebih terasa gurih dan manis. Apalagi jika dimakan saat nasi jagung masih hangat. Jika di pulau Madura, Nasi jagung dimakan dengan sayur kelor. Disini, nasi jagung lebih cocok dicampur tumisan sayur pakis atau sayur bayam. Rasanya juga tak kalah nikmat.