Oleh : Abdul Hamid
Presiden Jokowidodo memerintahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membuka lahan persawahan baru untuk mencegah ancaman krisis pangan. Warning soal ancaman kelaparan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) direspon oleh Presiden Jokowi dengan program Food Estate.
Food estate atau dalam bahasa sederhananya adalah perkampungan industri pangan. Konsep ini adalah konsep pemerintah pusat dengan model pengembagan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian dan perkebunan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Karena skala pertanian ini cukup besar dan luas, maka pengelolaan nya tidak bisa dilakukan oleh masyarakat melainkan oleh perusahaan industri.
Masyarakat gigit jari. Pemerintah telah menggeser dari model pertanian peasant based and family based agriculture menjadi corporate based food and agriculture production. Seluruh isi perut rakyat Indonesia akan diatur oleh negara.
Program food estate pemerintah di tolak oleh para aktivis lingkungan. Salah satunya yang paling santer menyuarakan penolakan adalah aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia. WALHI menolak dengan tegas cetak sawah baru. Apalagi cetak sawah baru itu akan dilakukan di lahan gambut. Di provinsi Kalimantan Tengah. Lokasinya berada di areal Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Kapuas dan KHG sungai Kahayan.
Alih fungsi lahan gambut untuk sawah di areal KHG memang berpotensi menimbulkan bencana kebakaran hutan dan lahan. Sebab, gambut akan menjadi kering karena siklus hidrologinya rusak jika alih fungsi lahan gambut menjadi sawah.
Bayangkan kalau tebalnya gambut yang belasan meter itu terbakar. Bencana asap bisa terjadi, terutama di musim kemarau. Kerusakan terhadap lahan gambut juga bisa mengakibatkan bencana banjir saat musim penghujan. Kerusakan gambut bukan perkara sepele.
Mestinya pemerintah belajar dari kegagalan presiden Soeharto yang membuka lahan satu juta hektar gambut untuk sawah di Kalimantan Tengah. Proyek yang digagas pada era pembangunan orde baru itu. Yang Menterinya bernama Siswono Yudo Husodo. Yang proyeknya bertujuan menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi.
Gagal total. Karena lahan gambut terbukti tidak cocok untuk tanaman padi. Separuh dari 15.594 Kepala Keluarga yang diboyong dari Pulau Jawa melalui program transmigrasi, pulang meninggalkan lokasi. Parahnya lagi, penduduk setempat menanggung kerugian akibat kerusakan sumber daya alam atas dampak dari mega proyek itu.
Lantas, apakah lahan gambut harus dibiarkan begitu saja “menganggur”? Tidak bisa ditanami tanaman pangan?
Kita kembali kepada kaidah penciptaan alam semesta bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah tidak percuma. Melainkan memiliki nilai manfaat. Kebermanfaatan lahan gambut begitu banyak. Tidak saja untuk keberlangsungan keanekaragaman hayati, tapi juga untuk tumbuhan tanaman pangan manusia. Manusianya saja yang merubah selera makannya. Sehingga memaksa alam untuk seragam mengikuti selera manusia. Terutama selera kaum kapitalis.
Lahan gambut sebetulnya sangat cocok untuk tanaman umbi-umbian. Singkong, ketela, dan talas mudah sekali hidup dilahan gambut. Tanpa pupuk dan perawatanpun masih bisa tumbuh dengan baik. Ditinjau dari sisi gizi dan kesehatan, umbi-umbian lebih bagus untuk dikonsumsi ketimbang beras. Karena banyak umbi-umbian kandungan kadar glukosanya lebih rendah daripada beras.
Ketela dan Ubi jalar |
Sebelum ada penelitian ilmiah untuk itu. Sejumlah suku bangsa punya kearifan lokal untuk tanaman pangan dilahan gambut. Jenis tanaman pangan yang juga sudah lama menjadi konsumsi pangan adalah sagu. Dalam sagu terdapat sumber nabati yang luar biasa manfaatnya.
Jadi titik persoalannya bukan di gambut. Karena lahan gambut terbukti bisa dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Kita juga tidak kekurangan pangan, Kita yang kurang kemauan untuk makan apa yang kita punya.
Dengan mengabaikan tanaman pangan dilahan gambut, berarti kita sedang menggadaikan isi jutaan perut masyarakat Indonesia kepada bangsa lain.
Budaya pangan masyarakat indonesia memang terus berubah. Berubahnya bukan dari zaman now. Tetapi dimulai sejak dulu. Sebelum Via Vallen dilahirkan. Tepatnya di tahun 1980 an. Sejak revolusi hijau digulirkan oleh pemerintah orde baru. Program pembangunan pertanian yang masif itu. Yang ber-orientasi pada padi/beras.
Sejak itu selera makan dipersempit kepada beras. Pertanian padi mulai merambah ke daerah-daerah. Masyarakat mulai meninggalkan makanan pokok daerahnya. Umbi-umbian dan sagu mulai ditinggalkan. Tak ada lagi orang yang mengeluarkan zakat fitrah berupa jagung, sagu dan umbi-umbian.
Konsumsi beras dan gandum mulai mendominasi. Saat era reformasi, dimana produksi beras mulai menurun, pemerintah melakukan impor beras. Impor beras dan gandum dari tahun ke tahun makin meningkat. Konsumsi makanan berbahan gandum dan beras kini telah menjadi lazim bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Tengok saja, bantuan sembako yang diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat terdampak Covid-19.
Rata -rata bantuan yang diberikan kepada masyarakat adalah beras dan mie instant yang bahan dasar nya tidak lain adalah dari gandum. Jutaan ton tiap tahunnya kita melakukan impor gandum dari Amerika Serikat. Dari jutaan ton impor gandum itu adalah untuk memenuhi kebutuhan industri mie isntan dalam negeri.
Pemerintah semestinya tidak berpikir secara instan untuk urusan perut warganya. Memang memberikan bantuan mie instan untuk masyarakat yang terdampak bencana, membawa dan memasaknya relatif lebih mudah. Tidak perlu repot-repot. Tapi kalaupun harus bantuan itu dalam bentuk mie instan, kita bisa mengganti bahan bakunya. Untuk jangka pendek, memang harga gandum relatif lebih rendah daripada memproduksi mie dari bahan baku umbi-umbian atau sagu.
Tapi untuk jangka panjang, pemerintah bisa melakukan intervensi dengan mendirikan pabrik sagu dan umbi-umbian kedalam skala industri makanan olahan. Sudah ada perusahaan yang memproduksi mie instant dari sayur bayam organik. Mengapa sagu tidak? Bukankah mie Sagu sudah ada dan menjadi panganan yang diminati masyarakat lokal sejak zaman nenek moyang sampai dengan hari ini.
Sekali lagi, Kita tidak sedang kekurangan bahan pangan. Yang kurang adalah kemauan untuk memanfaatkan, serta kampanye agar masyarakat sadar untuk memanfaatkan sumber-sumber pangan yang sudah tersedia.