Rumah Budaya Madura di Jalan Selat Panjang Pontianak Utara [Foto Mistur] |
Abdul Hamid*)
Rasa dendam dan ketidakadilan itu akan terus bergejolak didalam setiap jiwa manusia. Sampai kapanpun. Sebelum yang namanya insan ini berjumpa dengan Allah, Sang Penciptanya. Dialah pemilik yang Maha Adil itu.
Oleh karenanya, jangan terlalu banyak berharap tegaknya keadilan selama kita masih berpijak di bumi ini. Nanti kita sering patah hati. Namun selayaknya sebagai manusia kita wajib memperjuangkan. Ikhtiar nya wajib. Malah sampai ada yang memperjuangkannya dengan berdarah-darah.
Negara sekelas Amerika pun hari ini tetap ada gejolak rasa ketidakadilan. Perasaan ketidakadilan atas perlakuan antara ras kulit putih dan kulit hitam. Perlakuan diskriminatif. Yang salah satu contohnya bisa dilihat hari ini. Unjuk rasa atas kematian orang kulit hitam yang terus meluas dan belum ada tanda tanda selesai. Kita semua sudah tahu. Ini akibat dari tewasnya satu orang dari ras kulit hitam George Floyd, di dengkul polisi kulit putih.
Meskipun polisi kulit putih itu sudah ditahan. Dikenakan sanksi yang berat. Demo besar-besaran anti rasis makin meluas. Tidak bisa dibendung, terlanjur sakit hati. Mungkin perlu ada pemberlakuan hukum adat. Agar suasana kembali kondusif. Tapi Amerika bukanlah bagian dari pulau Kalimantan.
Makanya, orang Madura di Kalimantan mestinya banyak-banyak bersyukur. Jangan terlalu banyak perasaan sakit hati. Orang Madura diluar pulau Kalimantan juga jangan asal komentar. Apalagi informasi yang mereka terima masih setengah-setengah. Tidak utuh. Tidak dikaji secara mendalam. Tidak merasakan bagaimana organisasi masyarakat IKBM (Ikatan Keluarga Besar Madura) menjaga "nyawa" saudaranya yang di pelosok-pelosok itu. Yang kalau terjadi konflik, kita tidak tahu cara mengevakuasi mereka. Yang kalau mereka menjadi pengunngsi, Kita tidak tahu bagaimana menjaga keberlangsungan hidupnya.
Tapi Ini kan soal kesalahan personal orang madura di luar Kalimantan. Soal Lutfi Holi. Yang ulasan sejarahnya sangat dangkal dan ada unsur penghinaan. Ucapan Lutfi Holi juga tidak tunggal. Tapi ada penyebab nya. Tepatnya pertengahan 2018. Menyikapi pernyataan Presiden Majelis Dewan Adat Dayak Nasional yang viral itu. Yang pidatonya oleh para nitizen dianggap menghina Islam dan Melayu. Karena disamakan dengan penjajah. Belanda.
Tapi kenapa baru viralnya sekarang? Saat orang sedang asyik berlebaran. Ini tak lain, Berkat adanya Facebook. Video itu kembali menjadi viral. Diviralkan lagi. Entah siapa yang mempostingnya lagi? Tapi itu hanya pemicu. Akarnya sangat dalam. Sejarah konflik antar etnis di Kalimantan Barat.
Sebagian orang menganggap ini ada unsur politisnya. Tafsirnya macam-macam. Termasuk menjelang pemilihan kepala daerah. Saya sendiri tidak banyak berkomentar di medsos soal politik ini, Saya lebih senang jika ada ulasan sejarah yang bisa meluruskan dan menjawab pertanyaan Lutfi. Bukan malah dijawab dengan laporan yang disertai dengan pernyataan ancaman.
Tidak bisa persoalan ini digeneralisir. "Hilang harga diri kita. Ini soal Malo." Tulis seorang teman dari pedalaman via Chat WhatsApp grup.
Bagi orang Madura, perasaan Malo merupakan perasaan akibat dari perlakuan orang lain yang tidak mengakui kapasitas dirinya sehingga yang bersangkutan merasa menjadi tada’ ajhina. Lalu benarkah orang Madura di Kalbar tada' ajhina karena rela menundukkan diri untuk kasus Lutfi Holi ini?
Saya kira kita jangan terlalu buru-buru merendahkan diri kita sendiri? Bukankah Rasulullah sendiri pernah mengalami perjanjian yang dianggap merugikan. Perjanjian Hudaibiyah. Sebuah perjanjian yang semula menuai rasa kecewa umat Muslim karena dianggap sangat merugikan dan berbuah bagus diakhirnya. Hal ini karena perjanjian tersebut menyimpan makna tersirat yang ternyata membawa keuntungan sangat besar dikemudian hari.
Nah, Untuk penyelesaian adat atas kasus Lutfi, saya kira tiak usah terburu-buru kita menganggap ini Malo. Ini soal keberlangsaungan hajat hidup saudara kita di pulau Kalimantan. Yang ari- ari mereka sudah tertanam, jauh sebelum republik ini berdiri. Yang tulang sulbinya sudah tidak lagi tulang sulbi dari pulau garam. Tapi sudah bercampur dengan tulang sulbi orang Kalimantan. Bisa dari tulang sulbi Suku Dayak, Melayu, China, Bugis, Banjar, Bantak, Jawa dan suku-suku yang lain.
Menunduk pada kesepakatan ormas yang membuat pernyataan mengancam kita, hakikatnya bukan untuk merendahkan harga diri orang Madura. Menunduk justru bisa jadi menaikkan derajat kita dimata Tuhan dan orang lain.
Pada proses mediasi kasus Lutfi ini kita tidak sedang kehilangan identitas kita sebagai orang Madura. Justru Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM) sedang menunjukkan identitasnya sebagai organisasinya orang Madura yang Rampak Naong Beringin Korong.
Makna ‘Rampak naong beringin korong’ sendiri menjadi pedoman hidup yang dimaksudkan bahwa orang Madura menyukai kehidupan yang damai, tanpa kekerasan, diskriminasi, dan persengketaan. Falsafah ini tentu bisa menjadi bantahan terhadap stereotype kekerasan yang sering dialamatkan kepada orang Madura sendiri.
Mungkin Stereotype tersebut sudah terlanjur berkembang dan mengakar kuat di masyarakat orang luar Madura sehingga seolah sulit mengubah paradigma tersebut. Sekuat-kuatnya stereotype itu yang perlu kita ingat bahwa sejarah telah mencatat lain dari Stereotype negatif yang disematkan kepada orang Madura. Orang lain mungkin abai soal ini. Tapi generasi yang akan datang akan membaca sejarah. Mereka akan mengetahui sikap bijaksananya orang Madura. Apalagi saat ini kita sudah memasuki dunia digital.
Orang yang tinggal di ujung kutub utara dan selatanpun bisa tahu. Video ataupun tulisan status dalam media sosial bisa dihapus. Tapi jejak digital tidak bisa dihapus. Pun pula jejak kebaikan dan keburukan tidak akan pernah di bisa dihapus sampai Sang Maha Pemaaf itu sendiri yang menghapusnya.
* Penulis Buku Khazanah Budaya Madura Kalimantan Barat