JERUK SAMBAS - INSPIRASI SYARIAH

Selasa, 14 Juli 2020

JERUK SAMBAS

Oleh : Abdul Hamid
Ingatan saya tentang Jeruk Sambas tiba-tiba kembali mencuat. Saat Aris Bahariyono, Aktivis Yayasan Swadaya Dian Khatulistiwa (YSDK) meng-upload sebuah film dokumenter yang berjudul Kunjungan Silang Pertanian dan Dialog Budaya di akun Yutube nya. 
Tanaman Jeruk Sambas di halaman rumah Subro, Relokasi Madani Desa Mekar Sari

Aris sekarang memang tidak lagi aktif di YSDK. Dia lebih banyak bergelut di pendampingan masyarakat adat. Mengurusi Isu seputar lingkungan dan konflik sumber daya  alam dengan perusahaan atau koorporasi besar di beberapa daerah di Indonesia. 

Film Dokumenter yang di-upload tersebut direkam pada bulan februari tahun 2007 silam. Saat beberapa warga dari Kabupaten Sambas Mengunjungi saudaranya di relokasi pengungsi Desa Mekar Sari Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. Kala itu Kampung Madani belum di aspal. Masih jalan tanah. Kalau hujan becek nya bukan main. Belum banyak masyarakat yang punya sepeda motor. Transportasi masih banyak menggunakan motor air. 

Kunjungan itu bukan kunjungan biasa. Tapi sebuah kunjungan untuk menyambung kembali tali silaturahim yang terkoyak akibat konflik sosial Sambas di tahun 1999. Yang melakukan inisiasi adalah YSDK. Sebuah langkah yang cukup berani disaat pemerintah daerah tidak punya kebijakan soal penanganan pasca konflik. Pemerintah daerah lebih memilih jalan "alami". Membiarkan satu generasi habis dulu dimakan usia. Setelah itu, biarlah generasi muda berikutnya yang menyelesaikan. Entah kapan waktunya? 

YSDK mengambil langkah kecil tapi konkrit. Mempertemukan warga yang pernah berkonflik. Pertemuan yang sederhana itu menghapus segala bentuk ketakutan dan stereotype negatif tentang orang Madura. Stereotype negatif bahwa orang Madura pendendam, suka berkelahi, dan tuduhan-tuduhan lain yang banyak ditulis oleh para dosen dengan analisa yang dangkal. 

Perwakilan masyarakat Melayu Sambas disambut dengan hangat oleh warga relokasi. Selayaknya saudara. Canda tawa mengalir, seolah tidak pernah ada konflik diantara mereka. Warga Madura di relokasi tak pernah menutup diri. Siapapun yang bertamu disambut dengan hangat. Rombongan menginap sampai dua hari lamanya. Jalan-jalan menikmati suasana alam kampung Madani. 

Tidak sekedar menikmati suasana alam kampung Madani tapi juga ada transaksi bisnis. Tokoh masyarakat Melayu Sambas yang berkunjung membawa barang dagangan. Ikan asin bilis, buah dan bibit jeruk Sambas. Sedangkan masyarakat Madura di relokasi menukarnya dengan hasil kebunnya, berupa jahe, kunyit dan rempah rempah lainnya. 

Beberapa bibit jeruk sambas yang dibawa dari Sambas ditanam di lahan pekarangan warga. Di lahan gambut. Sebuah langkah dibidang pertanian yang tidak biasa, sebab tanaman jeruk susah sekali bertahan hidup di lahan gambut. Jangankan berbuah, untuk sekedar tumbuh saja susah. Tapi warga Madura di Kampung Madani tidak berpikir ribet, yang penting ditanam saja. Setelah itu dirawat dengan baik. 

Ternyata bibit jeruk Sambas itu banyak yang tumbuh dengan baik. Meskipun perlu perawatan ekstra. Selalu ditinggikan tanahnya agar akarnya tidak tergenang air. Alhasil, jeruk sambas tumbuh dengan baik dan berbuah dengan lebat. Salah satunya di halaman rumah sahabat saya, Subro. Pada bulan tertentu tanaman jeruknya rajin sekali berbuah. Dalam setahun bisa dua kali berbuah. 

Ukuran buah jeruk Sambas memang tidak sebesar jeruk sunkist dari China. Ukuran nya relatif lebih kecil tapi rasanya juga manis. Apalagi kalau musim kemarau. Rasanya manis sekali. 

Masyarakat di luar Kalbar lebih mengenalnya dengan jeruk Pontianak. Bukan jeruk Sambas. Bupati Sambas Atbah Romin Suhaili tidak terima kalau jeruk Sambas disebut dengan jeruk Pontianak. Unek-unek keberatan nya itu disampaikan pada acara Hari Kesehatan Nasional ke-53 di Jakarta 12 November 2017 yang lalu. Dihadapan Menteri Kesehatan, yang kemudian acara itu dilanjutkan dengan acara makan buah jeruk Sambas.

Tapi sejauh ini orang diluar Kalbar tetap menyebut jeruk Pontianak. Klaim Atbah tidak memiliki dampak signifikan. Orang diluar Sambas juga tidak banyak yang kenal dengan Atbah.  Coba saja Atbah minta bantuan ke Ashanty atau ke anak tirinya,  Aurel Hermansyah. Minta endorse jeruk Sambas. Efeknya pasti berbeda.

Subscriber Aurel di Tutube sudah mencapai 2, 64 juta. Followers di akun Instagram-nya lebih fantastis lagi, 15,9 juta. Jumlah nya melebihi 28 Kali lipat penduduk Kabupaten Sambas. Apalagi jasa Endorse dari Ashanty dan Aurel gratis bagi pelaku UMKM.

Bagaimana kalau Ashanty dan Aurel tidak berkenan? Di Sambas sebetulnya banyak anak-anak muda yang jadi Yutuber. Bahkan sudah ada beberapa orang yang konon  mendapat Silver Play Button dari Yutube. Tapi memang potensi anak muda jarang sekali diperhatikan sama pemerintah daerah. Sehingga potensi daerah tidak banyak ter ekspose ke media sosial. Jeruk Sambas masih dipasarkan dan dikelola secara tradisional.


Kabupaten Sambas memang merupakan sentra penghasil jeruk terbesar di Kalimantan Barat. Kapasitas produksi tanaman jeruknya mencapai 112 ribu ton. Lahan kebun jeruk sambas dari tahun ke tahun semakin diperluas. Pemerintah daerah memberikan dukungan penuh. Bahkan sejak tahun 2014 telah dibangun kawasan jeruk seluas 2.400 hektar. 

Yang perlu dicermati kedepannya adalah saat musim panen jeruk melimpah. Harganya bisa anjlok. Tidak seperti jeruk sunkist yang relatif tidak mengalami fluktuasi harga. Maka yang perlu dipikirkan pemerintah daerah adalah hilirisasi dan membuka pasar yang lebih luas. Agar jangan sampai komoditas unggulan ini anjlok apalagi ada yang memonopoli harga seperti pada tahun 1992. Petani jeruk melawan perusahaan BCM. Timbullah kecemburuan ekonomi. Disinilah awal mula permasalahan struktural itu, dan puncaknya di tahun 1999. Orang Madura menjadi korban. 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda

Berkomentar sesuai dengan topik, gunakan Name dan URL jika ingin meninggalkan jejak, link hidup dalam komentar dilarang, melanggar kami hapus